Mereka yang Terancam Gula Pariwisata

0 , , Permalink 0

image

Masalah mungkin sudah jadi jodoh kami.

Jauh-jauh ke pantai Amed di ujung timur Bali dan Pantai Bias Putih yang tersembunyi, kami kok ya ketemunya dengan masalah-masalah karena pariwisata.

Tapi, sebelum lanjut, apa yang kami alami ini hanya sebagian contoh. Dia tak mewakili Bali secara keseluruhan karena “hanya” terjadi di dua lokasi. Kami pun hanya ngobrol santai bukan wawancara, meskipun mereka tahu kami wartawan.

Namun, menurutku, contoh-contoh ini tak bisa diabaikan begitu saja. Dia mungkin bisa jadi mewakili tempat-tempat wisata lain di Bali. Atau jangan-jangan dia hanya puncak gunung es.

Pertama di Amed. Tempat ini keren karena menghadap Selat Lombok dengan bukit-bukit di daratan. Di salah satu titik, setelah menyusuri jalan pinggir pantai, kami tiba di sebuah bukit. Dari bukit ini kami bisa menikmati laut yang membiru dan jernih. Ikan-ikan yang berkejaran sampai kelihatan dari atas bukit.

Tapi, begitu kami turun lagi ke desa-desa lain di sini, kami bertemu kenyataan pahit, warga lokal tak bisa turut menikmati gurihnya kue pariwisata ini.

Kami ngobrol dengan salah satu warga. Dia mengeluhkan bagaimana warga di sana tak kecipratan kue pariwisata ini. Anak-anak muda di sana justru nganggur tak bekerja. Hampir 90 persen warga juga masih miskin.

Hotel, vila, restoran, dan seterusnya di sana hampir semuanya milik orang asing. Bukan orang Indonesia, Bali, apalagi warga desa setempat. Begitu pula pekerjanya. Sebagian besar dari dari luar desa.

Ironis banget. Ketika desanya justru jadi tempat wisata, warga desa itu hanya jadi penonton. Tak merasakan nikmatnya kue pariwisata.

Hal serupa, cerita kedua, juga terjadi ketika kami ke Pantai Bias Putih, Desa Bugbug, Karangasem. Di sini, warga yang mengelola kafe ataupun mengantar tamu-tamu justru merasa terancam jika investor rakus mencaplok tempat wisata dengan pantai putih bersih ini.

Di sini warga lokal mengelola kafe, warung, dan restoran. Tamu-tamu yang sebagian besar bule asyik minum, rebahan di dipan jemur, atau berenang di antara ombak. Namun, ada rencana proyek pembangunan  lapangan golf plus berbagai fasilitasnya di pantai ini.

Karena lapangan golf dikelola investor, maka sangat mungkin warga setempat yang sudah mengelola kafe dan semacamnya di pantai ini akan tergusur. Ah, sudah banyak banget contoh serupa di Bali ataupun tempat lain. Warga lokal harus digusur karena ada pembangunan fasilitas wisata di sana.

Aku bayangkan, ketika di sana sudah ada lapangan golf, entah kapan itu, pantai yang sebenarnya milik publik  itu pun akan dikaveling seolah-olah hanya hotel dan tamu-tamu mereka yang boleh menikmati. Maka, warga lokal tak hanya menjadi penonton, mereka pun tersingkir dari tanahnya sendiri.

Keterangan: ilustrasi diambil dari foto pas pameran kartun oleh MAKAR. 

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *