Mereka yang Renta dan Terbuang

2 , Permalink 0

Tubuh-tubuh renta itu menyambutku ketika aku sampai di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Kesiman sore tadi. Dengan tubuh makin rapuh, mereka hanya bisa diam di tempat tidur. Duduk, tidur, makan, minum, kencing, bahkan buang air besar pun mereka lakukan di kasur dengan sprei putih kusam itu.

Fisik itu memang tidak bisa lari dari waktu yang terus berlalu. Begitu pula mereka, sebagian penghuni panti lansia tersebut. Tubuh mereka tak lagi bisa bekerja seperti normalnya tubuh pada umumnya. Bahkan untuk mendengar pun mereka tak bisa. Mereka tidak bereaksi apa pun ketika aku ajak ngobrol dengan bantuan salah satu relawan.

Memang tidak semua penghuni seperti itu. Dari 49 penghuni, hanya sekitar lima yang benar-benar hanya bisa diam. Sisanya masih bisa beraktivitas meski tak segesit mereka yang masih segar di usia muda.

Toh kegiatan mereka juga terbatas. Sore itu mereka hanya duduk-duduk. Ada yang lesehan di lantai dan halaman rumput. Ada yang duduk berjejer di kursi beranda wisma. Ada yang hanya diam di kursi roda. Ada yang asik nonton sinetron. Sisanya, tidur di kasur.

Perempuan-perempuan itu semuanya sudah renta. Ini memang panti sosial untuk para lansia. Umur mereka yang paling muda 60 tahun, yang paling tua 94 tahun. Aku melihat ke ruangan tempat ibu paling tua tinggal. Tubuhnya sangat renta. Tulang iganya menonjol di balik kulit yang keriput.

Aku menyapanya. Dia diam saja. Tidak bereaksi apa pun. “Percuma. Dia bongol,” kata nenek lain yang sedang nonton sinetron. Bongol adalah bahasa Bali kasar yang berarti tuli.

Tri, satu-satunya relawan di sana, menuturkan kisah getir di antara para lansia itu. Penghuni panti, 43 di antaranya adalah perempuan, itu tinggal di sana sebagian besar karena terbuang atau dibuang dari keluarga.

Umur yang kian senja dan tubuh yang kian renta membuat keluarga para lansia itu enggan mengurusnya. Cara paling gampang adalah dengan menitipkannya di panti lansia. Orang lain
Bisa menyebutnya dengan menitipkan. Bagiku, itu adalah pembuangan.

Menurut Tri sebagian besar lansia itu tidak jelas keluarganya. Memang ada nama penanggung jawab pada tiap lansia itu. Namun mereka toh sangat jarang mengunjungi apalagi mengurusi ibu, nenek, atau kerabat yang dititipkan tersebut. Kalau toh berkunjung, kata relawan yang bekerja di sana sejak 2003 itu, mereka malah mengambil barang milik lansia yang dikunjungi.

Bahkan beberapa lansia itu ada yang hanya dititipkan dan kemudian tidak pernah ada yang mengunjungi. Ada pula yang bahkan sudah meninggal pun tidak ada yang mengurusi. Terlalu sarkas, kasar, mungkin. Tapi itulah adanya.

2 Comments
  • didut
    March 20, 2009

    hmmm…..semoga menjadi lansia tidak berarti harus terusir

  • wira
    March 25, 2009

    hmmm… mudah2an kalau waktu mengijinkan, saya bisa merawat orang tua nanti..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *