Menyepi dari Waktu yang Berlari

12 No tags Permalink 0

Ketika melakukannya dua tahun lalu, aku hanya berpikir untuk lari dari ingar bingar perayaan tahun baru di Denpasar. Entahlah. Aku memang tidak bisa menikmati suasana yang ramai. Kadang-kadang malah seperti cemas di tengah kerumunan banyak orang. Begitu pula pada perayaan tahun baru.

Ketika masih jadi wartawan baik-baik, larut di dalam perayaan tahun baru seperti jadi sesuatu yang โ€œwajibโ€. Tapi aku tidak bisa menikmatinya. Meski sudah mencoba kayak apa, tetap saja aku merasa terasing di sana.

Bisa jadi karena latar belakangku sebagai wong ndeso. Sampai umur 18 tahun, aku hanya tinggal di kampung. Jauh dari peradaban, termasuk hiruk pikuk tahun baru. Jadi tidak ada beda malam tahun baru atau tidak. Sebab memang tidak ada beda dalam sesungguhnya.

Lalu ketika di Denpasar, malam pergantian tahun seperti sesuatu yang โ€œharusโ€ dirayakan. Semasih di Persma Akademika, aku dan teman-teman di sana bikin malam renungan tiap malam pergantian tahun baru. Ada doa bersama, ada kesan pesan, dan seterusnya. Tapi setelah itu tidak ada apa-apa. Yang berganti hanya tanggal. Teman masih sama. Tempat nongkrong masih sama.

Setelah itu sempat pula tiap tahun baru aku hanya diam di kamar. Nonton TV atau main game komputer sama teman-teman di kos-kosan. Tahun baru nyaris tidak membuatku harus bergegas di tengah ingar bingar perayaan kedatangannya.

Lalu, sejak dua tahun lalu, aku mulai punya kebiasaan baru. Tiap 31 Desember, aku dan istri memilih menyepi di Karangasem. Kami berangkat sore dari Denpasar. Di jalan biasa beli terompet atau kembang api. Sampai Pekarangan, Manggis, rumah kakek nenek, kami hanya ngobrol kangin kauh. Setelah ngobrol bakar kembang api. Lalu, tidur. Tidak perlu ada hiruk pikuk, instropeksi, atau tetek bengek lainnya.

Awalnya menyepi ke kampung itu ya memang karena males dengan keramaian Denpasar. Malas dengan ribu-ribut orang trek-trekan, orang tiup terompet, orang minum di pinggir jalan, dan seterusnya.

Kemudian baru aku sadari (ini sih gara-gara baca tulisan Bre Redana, wartawan Kompas yang berhasil meracuni aku untuk jatuh cinta pada cultural studies) bahwa bertahun baru di kampung itu ternyata bisa jadi counter culture. Waaah, keren juga istilahnya. Artinya kurang lebih tandingan dari budaya massal ingar bingar perayaan tahun baru yang tidak jelas itu.

Jadi aku kini makin punya pembenaran untuk menyepi di kampung dadong pekak di Karangasem. Maka, mari ke kampung saja pas tahun baru. Kita lari dari semua hiruk pikuk perayaan ini..

12 Comments
  • Eka
    December 31, 2007

    mapir cuma mo ngucapin met tahun baru bli….

  • Made
    December 31, 2007

    met taon baru bang anton ๐Ÿ™‚

  • mohammad
    December 31, 2007

    Kalo semua orang akhirnya pada pulang kampung pas tahun baru, he… nanti juga pasti ada yang melarikan diri dari pulang kampung…

    MI

  • goyangan
    January 1, 2008

    met taun baru…moga makin tua…eh dewasa… ๐Ÿ˜€

  • antonemus
    January 1, 2008

    @ eka+made+goyangan: met tau baru juga buat semua..

  • Made
    January 1, 2008

    waaa, saya juga menyepi. missed the party semalam. (ketiduran)

  • imsuryawan
    January 2, 2008

    Met taon baru Bli!

  • sakti soe
    January 2, 2008

    mari mas….kita lari saja…:D have a wonderful year mas….send our best to Bani and his mummie…wish the family all the best…:x

    sakti – opie

  • antonemus
    January 2, 2008

    @ made: gapapa, bli. toh jd irit biaya. ๐Ÿ™‚

    @ imsuryawan: sama2, bli..

  • wira
    January 4, 2008

    saya juga cenderung merayakan malam tahun baru di tempat yg aman dan nyaman, ngumpul di rumah temen..

  • kangbarok
    January 4, 2008

    salam taun baru….

  • antonemus
    January 4, 2008

    @ wira: teman apa tunangan, pak dosen? hehe..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *