Mengkaji Mitos Modern Bernama Barbie

0 No tags Permalink 0

Resensi Buku Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme

Boneka Barbie mengkomodifikasi piranti bermain gadis kecil menjadi sebuah mitos tentang kecantikan. Melalui buku ini, Mary F. Rogers menyatakan bahwa boneka Barbie adalah ikon rasisme, seksisme, konsumerisme, dan materialisme.

Awalnya, Elliot Handler membuat boneka Barbie hanya karena anak perempuannya, Barbara Handler tertarik pada sebuah boneka Lili yang dilihatnya ketika belanja selama liburan di Swiss pada 1956. Boneka Lili merupakan boneka produksi Jerman yang diilhami kartun strip dan dibuat sebagai simbol seks bagi laki-laki. Tiga tahun kemudian, Mattel Inc memproduksi boneka Barbie. Mattel Inc, sendiri didirikan Elliot bersama temannya Harold Matson pada 1944. Makanya perusahaan itu bernama Matt (dari Matson) dan El (dari Elliot). Barbie yang kemudian menjadi ikon budaya itu juga meminjam nama anak Elliot, Barbara. Demikian pula pacar Barbie, Kendra. Dalam kehidupan nyata, Barbie dan Ken adalah dua bersaudara. Namun dalam imajinasi produksi Mattel, keduanya adalah sepasang kekasih.

Boneka rekaan Mattel itu kemudian menjadi ikon kebudayaan massa. Seperti halnya Madonna, Elvis Presley, Marlyn Monroe, Michael Jackson, atau Britney Spears, Barbie telah menjadi ikon dunia hiburan saat ini. Bedanya, Britney Spears dan sejumlah pesohor itu adalah sesuatu yang nyata, real. Dia berwujud dan benar-benar ada. Sedangkan Barbie hanyalah sesuatu yang seolah-olah ada dan kemudian diwujudkan dalam boneka bernama Barbie itu. Barbie sama dengan James Bond sebagai ikon agen ganteng, berani, dan dikelilingi banyak perempuan cantik. Atau Superman sebagai ikon keberanian melawan kejahatan. Barbie, James Bond, dan Superman hanyalah ikon yang seolah-olah ada. Mereka hanya ikon rekaan..

Selebihnya, Barbie adalah mitos. Sebagai mitos, Barbie memang diciptakan oleh Mattel inc untuk mewujudkan fantasi terjauh seseorang tentang kecantikan. Lihatlah, misalnya, iklan peluncuran seri ketiga Barbie yaitu Barbie of Swan Lake yang menggunakan kata-kata “keajaiban”, “impian”, “fantasi”, dan semacamnya. Barbie identik dengan sesuatu yang tidak bisa didapatkan manusia kecuali dalam imajinasi.

Mitos inilah yang kemudian dikaji dalam buku yang judul aslinya Barbie Culture ini. Barbie tidak hanya sebuah boneka mainan anak-anak perempuan. Di baliknya ada berbagai kajian soal tubuh, seks, ras, kelas, materialisme, dan konsumerisme.

Menurut Mary F Rogers, Barbie menujukkan feminitas yang tegas. Sejumlah predikat yang disematkan pada Barbie adalah sesuatu yang identik dengan perempuan. Sebutlah kata seperti jelita, lembut, cantik dan indah, anggun. Tidak hanya dalam iklan, kata-kata itu pun muncul dalam pemberitaan media seperti Bussiness Week, Forbes, The Los Angeles Times, serta US News dan World Report. Secara tegas, Barbie merupakan representasi feminitas kelas menengah modern yang begitu diharapkan dan dikukuhkan dalam realitas masyarakat kita.

Barbie berpenampilan feminin dan bersikap menentang maskulin. Ketika mendapatkan penghargaan sebagai petugas polisi terbaik pun dia mengenakan gaun malam yang gemerlapan pada acara penyerahan. Penampilan Barbie juga tidak pernah terkesan androgin atau tanpa-gender. Tampilan pengemasan Barbie yang berwarna merah muda, teksturnya yang lembut dan halus, gaya fashionnya yang tepat, dan bentuknya yang ramping seolah menyatakan diri, “Feminin!”.

Karena femininitasnya itu, Barbie telah merasuki pikiran gadis-gadis tentang kecantikan ideal yang sebagian malah menganggapnya mengerikan. Rambut yang indah, kaki yang jenjang, payudara yang sempurna, dan pinggang yang ramping laksana jam-pasir bagi Beth, mahasiswi Midwest State University adalah sesuatu yang terlalu sempurna.”Kemampuannya mendefinisikan kesempurnaan terlalu menakutkan,” kata Beth. Sidney Stern dan Ted Schoenhaus (1990) pun mengatakan Barbie sebagai model acuan yang paling merusak dunia mainan. Sebab, Barbie lahir dari proses idealisasi dan melebih-lebihkan.

Secara fisik, Barbie telah mengajarkan rasisme. Sejak lahir, Barbie adalah boneka berkulit putih walapun kemudian telah banyak versi warna kulit padanya seperti versi Afrika, Amerika, Asia, dan Hispanik. Rambutnya sejak awal juga pirang meskipun pernah berganti menjadi coklat dan merah. Mata Barbie juga biru, tidak coklat atau hijau. Maka, sengaja atau tidak, Barbie adalah bukti nyata dominasi budaya kulit putih atau ras Kaukasian (dalam kebudayaan pop). Karenanya dalam acara meet and greet Barbie di Surabaya dan Jakarta Desember ini- dalam rangka peluncuran Barbie seri Barbie of Swan Lake- panitia mengundang seorang model Amerika yang mirip Barbie. Sebab, Barbie melalu fisiknya telah mengajarkan bahwa ras Kaukasian lebih baik daripada ras Asia, Hispanik, maupun Afrika.

Elaine Sciolino (1997) melaporkan bahwa meskipun Barbie yang didasarkan pada ajaran Islam dijual di Iran, tetap saja Barbie yang paling digemari adalah Barbie impor yang berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, dan berpakaian ala Barat. Kondisi demikian merefleksikan adanya hierarki sosial dan etnik dimana “putih” dipahami sebagai bersih, terhormat, sukses, bermoral baik, serta sehat dan menarik. Pilihan orang awam terhadap Barbie kulit putih secara tidak langsung merefleksikan pandangan rasialis dalam masyarakat yang didominasi kulit putih.

Sebagai boneka, Barbie tidaklah mainan semata. Ia misalnya memiliki beragam pernak-pernik dalam dunia kecilnya. Sebuah acara pameran dan penjualan boneka Barbie yang diadakan bukanlah semata tempat menjual produk bernama boneka. Aktivitas belanja di sana sekaligus untuk mencari kehidupan bahagia sebagaimana yang dialami Barbie dalam cerita imajinernya.

Pemasaran Barbie didukung oleh kebangkitan sistem ekonomi konsumsi di Amerika Utara, Jepang, Eropa, serta belahan negara lain pada tahun 1960-an. Akibat kebangkitan sistem ekonomi ini, banyak kalangan yang secara ekonomis belum produktif pun berduyun-duyun ke mal, restoran, bioskop, tempat makan siap saji, taman hiburan, butik, dan semua tempat belanja barang maupun jasa. Barbie dengan lugasnya menggaet golongan anak-anak sebagai market. Maka, Barbie telah melambangkan konsumerisasi anak-anak yaitu transformasi anak-anak menjadi konsumen dengan otonomi di diri anak-anak itu.

Anak-anak tidak hanya membeli Barbie tapi juga harus memiliki apa yang dimilki Barbie seperti rumah Barbie, mobil-mobilan Barbie, kamar mandi Barbie, dan berbagai aksesoris yang berhubungan dengan Barbie. Dari kacamata produsen, Barbie adalah mesin uang yang luar biasa atau titik awal praktik strategi pemasaran yang menguasai pikiran anak-anak. Dibuatlah mainan “turunan” seperti rumah Barbie, perlengkapan rumah tangga Barbie, kendaraan, furniture seperti tempat tidur, lemari pakaian, kursi, meja, juga hewan peliharaan ala Barbie.

Benda-benda itu bisa memiliki beragam jenis. Dua contoh benda milik Barbie adalah rumah dan mobil. Untuk rumah Barbie punya berbagai macam desain arsitektur, ukuran, dan harga. Sebutlah Dream House, Deluxe Dream House, Country Living House, Dream Cottage, Glamour Home, hingga Magical Manson. Sedangkan untuk mobil, Barbie punya Austin Healy, Classy Corvette, Porsche, Mustang, dan Jaguar. Inilah yang membuat Jennifer King (1990) menganggap Barbie sebagai ratu pengkonsumsi dari plastik yang mencolok mata.

Tidakkah barang-barang yang dimiliki Barbie itu saat ini telah menjadi simbol status sebagaimana Barbie itu sendiri? Saat ini, seseorang akan lebih dinilai orang lain karena memiliki barang yang tidak sembarang orang bisa memilikinya, sebagaimana layaknya Barbie. Lengkaplah sudah bahwa selain mengajarkan konsumerisme, Barbie juga mengajarkan materialisme, bahwa barang-barang yang dimiliki bisa membentuk dan menandakan jati diri seseorang.

Barbie memerlukan waktu setidaknya 30 tahun untuk bisa menjadi ikon budaya seperti saat ini. Sejak kelahirannya pada 1959 hingga 1989, Barbie masih jarang dikenal orang. Reader’s Guide yang berisi indeks ratusan majalah dunia menunjukkan bahwa hingga 1979, hanya ada 5 artikel tentang Barbie. Setelah 1990, barulah Barbie menjadi sosok penting dalam budaya populer Amerika Serikat atau dunia.

Untuk itu, di belakang Barbie ada infrastruktur besar bernama pasar. Pada 1991, Gretchen Morgenson menyatakan bahwa Barbie telah menyumbang separuh dari nilai penjualan Mattel sebesar $1,4 miliar. Lalu 5 tahun kemudian sudah menjadi $1,7 miliar hanya untuk penjualan Barbie dan tetek bengeknya. Mattel secara terus menerus menciptakan dan menyebarluaskan makna-makna, narasi-narasi, dan berbagai identitas bagi Barbie melalui pernyataan pers, iklan, artikel, komik, novel, dan media massa lain. Image ini harus terus dijaga sehingga misalnya grup musik asal Denmark, Aqua pernah dipersoalkan Mattel gara-gara lagu Barbie Girl yang dianggap merusak citra Barbie.

Dikaji dari perspektif Michel Foucault, Barbie adalah penjelmaan praktik disiplin tubuh. Barbie menjadi simbol bagaimana tubuh menolak batasan yang dahulu dipahami sebagai kodrat alam. Akibatnya tubuh pun menjadi instrumen aerobik, objek bedah plastik, eksperimen diet, dan sebongkah daging yang siap dibentuk terus menerus. Barbie melambangkan bentuk tubuh yang diidam-idamkan mayoritas perempuan remaja maupun dewasa (juga laki-laki?). Barbie, singkatnya, telah memadukan apa yang bisa diterima namun mustahil diwujudkan dengan apa yang dimiliki namun jauh dari kenyataan sehari-hari. Tidakkah ini hanya mitos?

Karena itu, buku yang disusun melalui sejumlah penelitian, wawancara, reportase, dan riset pustaka ini sangat menarik dibaca mereka yang tertarik pada kebudayaan secara luas khususnya cultural studies. Sebagai kajian tentang tubuh, buku dalam enam bab ini bisa memperlengkap buku sebelumnya seperti Tubuh yang Rasis oleh Seno Joko Suyono (Pustaka Pelajar, 2002) atau Tubuh Sosial karangan Anthony Synnot (Jalasutra, 2003).

Identitas buku

Judul: Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme
Penulis: Mary F. Rogers
Penerbit: Bentang Budaya, Yogyakarta, Oktober 2003
Tebal: xxvi+ 270 halaman
Tulisan ini pernah dimuat Media Indonesia. Udah lama, sih..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *