Menemukan Kemiripan Bali dan Muaro Jambi

0 , , Permalink 0

Muaro Jambi Pondasi

Begitu pemandu di Candi Muaro Jambi menyebut beberapa kata, mendadak saya langsung teringat Bali.

Istilah-istilah itu terdengar familiar sekali di Bali. Jangan-jangan memang Jambi dan Bali punya hubungan dekat ratusan tahun silam.

Perjalanan ke Candi Muaro Jambi saya lakukan Februari lalu. Ini pertama kali saya ke sana. Candi Muaro Jambi merupakan kompleks yang makin populer saat ini seiring dengan penataan dan pengelolaan. Karena populer itu, saya penasaran untuk mengunjunginya.

Subrata, salah satu pemandu di Muaro Jambi, memulai penjelasan tentang situs Candi Muaro Jambi dengan menunjukkan papan peta. Brata menyebut beberapa nama atau istilah yang familiar di telinga saya seperti Jambi, Astano, Mandala, Kedaton, dan lainnya. Secara pengucapan, kata-kata itu agak berbeda, tapi saya yakin asal katanya sama saja dengan bahasa Bali.

Jambi, misalnya. Nama provinsi sekaligus ibu kota tersebut memang berasal dari kata jambe. Dalam bahasa Bali, jambe berarti pohon pinang. Dan, asal mula nama Kota Jambi memang dari pohon pinang yang dulu banyak sekali di tepi sungai Batanghari. Dalam bahasa Bali, jambe pun berarmakna sama, pohon pinang.

Di Bali, Jambe pun pernah jadi nama bagi beberapa raja, seperti Dewa Agung Jambe, penguasa Kerajaan Klungkung pada 1686-1722 atau Dewa Agung Jambe II yang berkuasa pada tahun 1903 – 1908.

Apakah memang Jambi dan Jambe ini terkait satu sama lain? Saya belum menemukan referensi yang bisa menjawab.

Kata lain yang bermakna sama adalah Astano, yang kemungkinan besar berasal dari kata Astana. Dalam bahasa Bali, kata ini berarti istana, sama halnya dengan dalam Bahasa Melayu Jambi.

Muaro Jambi Candi Tinggi

Di kompleks Candi Muaro Jambi, Astano merupakan salah satu nama candi dari 84 candi di sini. Candi Astano termasuk yang sudah dipugar selain candi-candi lain seperti Candi Koto Mahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, dan Kembar Batu. Dari 84 candi, baru 8 yang sudah dibongkar dan diberi nama.

Candi-candi yang sudah dipugar dan dipelihara ini terbuat dari batu bata merah yang dibuat dengan cara dibakar menggunakan tanah liat di daerah tepi Sungai Batanghari. “Ini menunjukkan leluhur kita dulu menggunakan bahan-bahan lokal untuk membangun candi,” kata Subrata.

Istilah lain yang sama antara Bali dengan Candi Muaro Jambi adalah mandala atau ruang. Menurut Subrata, candi-candi di Muaro Jambi memiliki beberapa mandala atau ruang. Namun, karena rata-rata sudah tak terlalu diurus atau rusak, maka mandala tersebut tidak terlalu kentara. Berbeda dengan di Bali di mana aturan tentang mandala ini masih sangat kuat diterapkan.

Di Bali, pada umumnya tata ruang pura atau banguna suci lain menggunakan zonasi berdasarkan mandala ini. Zona paling luar atau Nista Mandala adalah pintu masuk dari luar. Biasanya berupa lapangan atau taman. Zona tengah atau Madya Mandala biasanya untuk pertemuan atau pertunjukan ketika ada upacara. Zona paling inti disebut Utama Mandala, tempat untuk sembahyang di mana terdapat pelinggih, tempat untuk menghaturkan persembahan.

Pengaturan ruang itu tak terlalu terlihat di kompleks Candi Muaro Jambi. Candi-candi yang tersisa sebagian besar sudah tidak utuh. Sebagian malah hanya tinggal pondasi batu bata merah yang rata dengan tanah.

Beberapa kesamaan antara Candi Muaro Jambi dengan Bali tentu melahirkan pertanyaan, kenapa dua tempat berjarak sekitar 2.500 km ini bisa memiliki kesamaan yang begitu dekat?

Subrata sendiri tidak tahu. Dia hanya bisa menduga-duga. Muaro Jambi pada abad ke-7 hingga ke-13 merupakan pusat studi Budha dan Hindu. Jejak-jejak di situs ini menunjukkan kuatnya interaksi orang dari berbagai tempat tak hanya Nusantara tapi juga kawasan Asia. Ada jejak China, Persia, dan India dalam manik-manik yang ditemukan di sana.

Dengan interaksi global tersebut, maka sangat mungkin pengaruhnya juga terasa hingga Bali yang hingga saat ini masih menjadi pusat peradaban Hindu di Indonesia.

Jadi, kalau toh ada kesamaan nama dan istilah tersebut, bisa jadi karena memang pengaruh Budha dan Hindu pada saat itu memang terasa hingga ke seluruh Nusantara, termasuk Jambi dan Bali.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *