Melali Tiga Hari di Tiga Gili

0 , , Permalink 0

 

Aku sedang terlalu malas untuk menulis serius.

Maka, baiklah. Aku tulis ngasal saja cerita jalan-jalan bersama Satori, Bani, dan Bunda ke Gili akhir pekan lalu. Jalan-jalannya pas libur panjang Nyepi.

Niat jalan-jalan ke Gili muncul begitu saja ketika kami ngobrol sama Bu Nungki pemilik Desa Dusun yang juga punya hotel di Gili Air, pulau terkecil dari tiga pulau di sana.

Setelah googling dengan kata kunci “tiket murah fast boat ke Gili Trawangan”, aku menemukan tiket kapal cepat yang memang murah, Rp 275 ribu per orang. Biasanya, tiket kapal cepat ke Gili berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu per orang.

Makanya, Rp 275 ribu termasuk murah.

Semula aku pikir BPC yang menjual tiket murah ini sekaligus pemilik kapal cepat. Ternyata mereka hanya agen. Kapal cepatnya sendiri adalah Wahana.

Kami dijemput dari Denpasar ke Padang Bai dengan catatan, sopir penjemput ternyata tidak tahu alamat tempat penjemputan. Pesan moralnya, besok-besok pastikan si penjemput memang tahu lokasi persis penjemputan. Biar tak perlu sakit hati karena menunggu sekitar satu jam plus dibentak-bentak si sopir.

Oh ya, si sopir penjemput ini sepertinya marah parah. Selama perjalanan dari Denpasar ke Padang Bai, Karangasem, dia ngebut banget dan menerobos lampu merah beberapa kali. Sakit!

Baiklah. Setelah antre dan menunggu selama sekitar 2 jam, kapal kami pun melaju menuju Gili Trawangan. Asyik aja sih perjalanan 1,5 jam ini. Sebelum ke Gili Trawangan, kapal mampir dulu ke Pelabuhan Bangsal di Lombok.

Ombak tenang. Laut biru. Air jernih. Pasir putih. Oh, terima kasih untuk sambutannya, Gili Trawangan.

Snorkeling
Maka, esoknya, kami pun berkeliling ke tiga pulau ini: Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Perjalanan ini dinikmati dengan perahu berkaca di bagian bawahnya alias glass bottom boat. Paket wisata dengan tarif Rp 100 ribu per orang ini sekitar 5-6 jam.

Kegiatan jalan-jalan dengan perahu berkaca ini umumnya berupa snorkeling di tiga titik. Titik pertama berjarak hanya sekitar 5 menit dari Gili Trawangan. Titik ini lebih dekat ke Gili Meno, pulau terbesar kedua. Paling hanya 10 meter dari garis pantai.

Namanya Titik Kapal Tenggelam (Shipwreck Point). Sebenarnya cuma perahu yang tenggelam di sana tapi pemandu menyebutnya Little Titanic. Biar keren saja.

Bangkai kapal di kedalaman sektar 10 meter itu terlihat jelas karena jernihnya air laut. Di sekitarnya, ikan-ikan kecil dengan warna agak gelap berenang ke sana ke mari. Sayangnya, terumbu karang terlihat agak rusak.

Lalu, byur! Para turis termasuk aku nyebur di biru dan beningnya air. Seger..

Setelah sekitar 30 menit snorkeling di sini, aku sendiri hanya sekitar 15 menit, kami lebih banyak duduk manis di perahu. Bani sempat ikut terjun ke laut meskipun dia agak takut.

Perjalanan pun berlanjut ke titik kedua. Namanya Turtle Point.

Titik ini berada di sisi utara Gili Meno. Disebut Turtle Point karena biasanya ada penyu di sini. Beberapa turis sih berseru melihat hewan laut sisa-sisa zaman purba ini. Namun, aku tak melihatnya sama sekali.

Selebihnya adalah ikan warna-warni. Biru. Merah muda. Abu-abu. Ikan-ikan itu berenang dan bersembunyi di antara terumbu karang yang terlihat lebih indah dan hidup dibanding titik pertama.

Di titik ini, arus terasa lebih keras dibanding titik pertama. Karena itu, para turis sebaiknya snorkling berkelompok. Kalau terseret arus paling tidak ada temannya. Tidak sendiri karena berbahaya.

Kalau sudah capek snorkeling di titik pertama, seperti aku yang masih muntah sekali lagi, tak ada salahnya duduk manis di perahu menikmati pemandangan bawah laut.

Waktu snorkling di sini pun kurang lebih sama, 30 menit. Setelah itu, perahu akan bergerak ke titik tiga, di sisi timur Gili Air. Titik ini hanya pilihan. Tidak ada turis yang angkat tangan ketika ditanya apakah ada yang mau nyemplung lagi di sini.

Maka, perjalanan pun berhenti sementara di Gili Air untuk makan siang. Di sini kami membeli gelang dari para pedagang lokal.

Usai makan siang, titik selanjutnya adalah Titik Ikan Hias. Mudah ditebak. Di titik ini memang banyak sekali ikan hias cantik berwarna-warni. Para turis tak hanya bisa snorkeling tapi juga memberi makan ikan di sini.

Arus ini lebih keras. Ombak juga lebih kuat sehingga perahu bergoyang lebih kencang. Toh, para turis asyik berenang dengan jaket pelampung, snorkel, dan sepatu katak masing-masing.

Setelah 30 menit kemudian, perjalanan pun berlanjut kembali ke Gili Trawangan. Selesailah sudah keliling tiga pulau yang menyenangkan.

Naik Cidomo
Sorenya, setelah rehat sekitar 1,5 jam, kami lanjut keliling Gili Trawangan dengan cidomo. Kendaraan khas Lombok yang ditarik kuda ini bisa diajak keliling selama kurang lebih 45 menit hingga 1 jam. Tarifnya Rp 150 ribu.

Satori girang sekali pas naik cidomo. Dia tak mau duduk di samping. Maunya di depan di antara Bani dan Pak Kusir.

Pilihan naik cidomo menjelang petang ternyata tepat. Kami bisa menikmati matahari tenggelam di sisi barat Gili Trawangan. Di sisi ini, ratusan turis asing maupun lokal asyik duduk di pasir mengantar matahari pulang.

Di barat sana, matahari tenggelam dengan Gunung Agung di Bali terlihat tinggi menjulang. Keren banget sih menurutku.

Pada hari ketiga, hari terakhir, kami baru bisa nyebur mandi di beningnya air laut Gili Trawangan. Cocok cih nama pulau ini Trawangan karena airnya yang begitu bening alias terawang.

Karena pantainya landai dan nyaris semua berpasir lembut, terutama di sisi timur, maka mandi pun bisa seenaknya. Apalagi pantainya belum dikapling sama restoran, kafe, ataupun hotel. Kami bebas merdeka mau mandi di mana.

Sayangnya arus sangat keras. Beda dengan di Sanur yang tenang, arus di Gili Trawangan pagi itu saat kami mandi terasa keras sekali. Jadi, kalau cuma diam di dalam air, badan bisa terseret. Pantes saja beberapa turis asing yang berbikini dan mandi hanya sebentar nyemplung di air.

Naik perahu keliling tiga pulau sudah. Snorkling sudah. Muntah juga sudah. Naik cidomo sudah. Mandi sepuasnya juga sudah. Apalagi ya?

Oh ya, naik sepeda. HARAM hukumnya jika ke Gili Trawangan tanpa naik sepeda. Di pulau ini tak ada kendaraan bermotor. Eh, ada ding. Perahu dan kapal bermotor. Cuma mereka kan di laut, bukan di darat.

Sepeda ini bisa disewa Rp 50 ribu per hari. Jadi, kami pun bisa menggunakan sepuasnya. Misalnya pas malam-malam ke pasar senggol bule. Satori duduk di keranjang depan sepeda. Dia senang ketawa saja. Turis-turis yang melihat juga ikut ketawa.

Sebenarnya naik sepeda keliling pulau bisa sangat menyenangkan. Sayangnya kami tak melakukan karena agak susah jika bawa Satori di keranjang depan gitu. Jadi yowislah. Cukup di sisi timur pantai dari ujung ke ujung. Toh tetap sama asyiknya.

Maka, lengkaplah sudah liburan tiga hari di tiga Gili. Saatnya balik ke(m)Bali. Besok-besok lanjut lagi cerita tema lain dari melali ke tiga Gili. Semoga tidak keburu basi.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *