Krisis SDM di Dunia LSM (Bali)

0 , , Permalink 0

krisis LSM

Tak banyak yang berubah setelah sekitar 15 tahun berlalu.

Wajah-wajah yang aku kenal sejak awal 2000-an itu masih sama: Mbak Catur, Mbok Denik, Pak Suar, Ngurah Gembrong, dan semacamnya. Begitu pula isu yang mereka hadapi.

Sekitar 15 tahun lalu, aku melihat mereka semua sebagai senior dengan cerita dan pengalaman berbeda-beda. Mbak Catur, samar-samar aku ingat, adalah orang di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali. Kantornya waktu itu di Jalan Danau Tamblingan, Sanur.

Mbok Denik dan Pak Suar adalah pengelola Yayasan Wisnu. Aku kenal akrab dengan mereka sejak jadi pencatat pertemuan (notulen) salah satu kegiatan mereka bersama warga-warga desa pada awal tahun 2000-an.

Adapun Ngurah Gembrong, panggilan akrab Ngurah Karyadi, adalah nama paling akrab ketika aku jadi penjaga kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar pada tahun-tahun yang sama. Gembrong sih salah satu seleb aktivis pada masa itu.

Di luar nama-nama itu, masih banyak nama lain. Gung Alit, Bli Gede, Mbok Atiek, Mbok Aik, dan banyak lagi. Anehnya, 15 tahun berlalu masih saja aku ketemu dengan nama-nama dan wajah-wajah itu.

Begitulah kurang lebih dinamika dunia organisasi non-pemerintah (Ornop) alias lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali. Belum banyak berganti. Ya, orang-orangnya, ya masalah-masalahnya. Aku sekarang termasuk bagian dari mereka yang mengalami krisis juga.

Sebenarnya sudah lama kami menyadari situasi itu. Sudah sama-sama tahu bahwa ada masalah di dunia LSM di Bali ini. Dua gejala di atas bisa menjadi penanda, wajah-wajah lama dengan masalah yang sama.

Hingga pada saat beberapa dari kami bertemu di Desa Nyambu, Kecamatan Kediri, Tabanan akhir Maret lalu, kami saling meledek. “Halah, ternyata kita-kita juga yang datang.” Acara di Desa Nyambu untuk uji coba paket ekowisata yang didampingi Yayasan Wisnu.

Dari Nyambu, kami lalu kepikiran untuk mendiskusikan topik dengan lebih serius: benarkah terjadi krisis sumber daya manusia (SDM) di dunia LSM Bali?

Jumat, 22 April lalu, kami mendiskusikannya. Memanfaatkan kumpul rame-rame sambil arisan 2 Are, arisan tiap bulan para pegiat LSM. Jawabannya sih mudah ditebak. Memang ada krisis SDM di dunia LSM di Bali.

Jangan dengarkan dulu pendapat mereka yang sudah makan garam di dunia ini. Mari dengarkan omongan Rahaji, teman di Bali Blogger Community (BBC) yang juga pernah kerja di Forum Fair Trade Indonesia. “Perasaan dari dulu orang-orangnya tetap ini-ini saja dengan masalah yang juga sama,” kata Rahaji.

Ada dua penyebab utama. Pertama karena memang kerja di dunia LSM itu tidak menjanjikan terutama dari sisi pendapatan. Ada staf LSM yang digaji cuma Rp 500 ribu per bulan. Karena itu, mereka yang bekerja di LSM pasti bukan untuk cari uang. Bagaimana mau cari uang kalau gaji tiap bulan pas-pasan.

Kambing hitamnya adalah soal rendahnya kemampuan LSM untuk mandiri dalam pendanaan berkelanjutan.

Alasan kedua karena memang makin sedikit anak muda tertarik pada isu-isu advokasi. Apalagi jika isunya bukan isu besar dan mainstream. Contoh saja pada isu keterbukaan informasi publik, fair trade, pertanian organik, pemberdayaan masyarakat desa, atau pengolahan sampah. Ah, siapa sih anak-anak muda yang mau bekerja di isu-isu tersebut?

Namun, menariknya, pada saat yang sama makin banyak anak muda yang mau melakukan kerja-kerja sosial tanpa harus terikat pada lembaga formal seperti LSM. Maraknya komunitas-komunitas berbasis media sosial atau online itu menarik. Apalagi karena mereka juga punya kepedulian terhadap isu-isu sosial.

Cuma ya, semua itu hanya bersifat cair dan sementara. Begitu selesai ya bubar begitu saja.

Berkaca pada maraknya komunitas-komunitas semacam itu, mungkin kini harus berpikir ulang: jangan-jangan LSM memang sudah tidak diperlukan?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *