Kopi di Bajawa, Kakao di Nangapenda

Hari ketiga di Flores kali ini.

Tujuan pertama adalah petani kopi di Desa Beiwae, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada. Aku sudah pernah ke kawasan penghasil kopi arabika ini sekitar tahun 2008. Tapi, sekarang agak berbeda dibanding empat tahun lalu.

Ketika ke sini empat tahun lalu, aku bertemu dengan Forum Masyarakat Watuata (Formata), kelompok petani di kawasan bernama Watuata ini. Menurut petani setempat, forum ini sudah berubah nama jadi Perhimpunan Petani Watuata (Permata). Pendamping mereka tetap sama, Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat Sipil (Lapmas) Ngada.

Vinsensius Loki, anggota Formata yang empat tahun lalu aku wawancarai sudah berkali-kali aku baca di koran, termasuk Kompas. Tak menyangka juga dia akhirnya berhasil seperti saat ini. Dia menjual kopinya ke pembeli dari Amerika melalui PT Indokom.

Kali ini aku tak bertemu Loki tapi anggota Permata. Kami ngobrol sambil menikmati kopi di beranda salah satu anggota Permata. Sebagian anggota sambil menjemur kopi beras tanpa kulit luar. Beberapa cerita menarik dari mereka adalah tentang bertambahnya produksi kopi setelah mereka menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari Sekolah Lapang.

“Panen kopi kami sekarang jauh lebih banyak,” kata Maria Yuliana Aku, petani perempuan anggota Permata. Yuliana memberikan contoh dulunya tiap pohon kopi mereka menghasilkan sekitar 2-3 kg biji kopi gelondong kering. Kini, tiap pohon bisa menghasilkan lebih dari dua kali lipat, 5-10 kg.

Salah satu sebabnya, selain pola produksi yang sekarang organik, adalah perlakuan terhadap pohon-pohon mereka. Semula, petani setempat membiarkan saja pohon kopi tumbuh tinggi. Mereka takut memotongnya karena menganggap makin tinggi pohon kopi berarti makin bagus dan banyak buahnya. Padahal tidak.

Setelah ikut SL, mereka baru tahu kalau tinggi pohon kopi sebaiknya tak lebih dari tingginya orang dewasa. Kopi pun berbuah lebih banyak.

Kami kemudian ke kebun kopi, sekitar 1 km dari kampung. Dengan tinggi lebih dari 1.500 di atas permukaan laut, Ngada memang salah satu penghasil kopi di Flores selain Manggarai. Dan benar saja. Bentangan kopi dengan buah-buah ranum memerah jadi pemandangan asyik yang menyambut kami ketika tiba di kebun.

Setelah sekitar 30 menit di sini untuk panen dan foto-foto, kami pun cabut. Di depan rumah, petani setempat menjemur kopi yang sudah dalam bentuk beras, kulitnya sudah mengelupas. Sayangnya mereka masih menghadapi tantangan baru, belum ada satu pun pembeli hingga saat itu.

Melintas Batas
Dari Ngada, perjalanan berlanjut ke tujuan kedua, Ende. Sekitar 4 jam perjalanan kami menuju salah satu kawasan penghasil kakao di kabupaten ini, Nangapenda.

Setelah sempat bablas melewati desa tujuan, kami kemudian balik lagi ke tempat di mana aku sudah janjian dengan petani anggota Asosiasi Petani Kakao Nangapenda (SIKAP). Kami bisa bablas ini karena memang susah menghubungi teman-teman petani di desa ini. Susah banget  cari sinyal telepoon di sini.

Meskipun sudah sering lewat dalam perjalanan Ende – Bajawa, ini pertama kali aku mampir di Nangapenda. Lokasinya persis di pinggir jalan raya. Begitu pula dengan rumah petani di mana kami ngobrol sebelum ke kebun.

Kakao merupakan salah satu komoditi andalan petani di Nangapenda selain juga komoditas lain, seperti vanili dan kelapa. Dari semula tak terlalu peduli dengan kakao, misalnya kebun tak terawat dan tidak ada pemangkasan, mereka kini lebih serius mengelola pohon kakao.

Tak cuma aspek produksi, petani setempat juga mulai serius mengerjakan pengolahan kakao. Maka, usai melihat kebun, kami juga menuju Unit Pengolahan Hasil (UPH) kakao di sini.

Sore itu, selain ada petani sedang menjemur biji kakao di para-para dengan atap plastik, juga ada dua petani lain sedang mengerjakan fermentasi kakao. Ini salah satu metode pengolahan biji kakao agar lebih bernilai ekonomi tinggi.

Di luar urusan produksi dan pengolahan pascapanen itu, ada hal lain yang menurut menarik di sini. Petani-petani Nangapenda ini bisa membangun organisasi sekaligus solidaritas antar-petani melintasi batas agama.

Dari namanya saja kelihatan perbedaan agama di antara mereka. Om Rudolf, Pak Hamid, dan seterusnya. Namun, mereka justru menggunakan perbedaan tersebut sebagai kekuatan untuk membangun organisasi petani. Tiap orang punya fungsi dan peran masing-masing dalam organisasi mereka.

Petani-petani Nangapenda ini mengajarkan bagaimana perbedaan justru jadi kekuatan bagi mereka.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *