Ketika Tulisan Dilawan Tuntutan

0 No tags Permalink 0

Terjadi lagi. Wartawan diadili gara-gara tulisannya. Kali ini Bersihar Lubis, yang menulis esai di Koran Tempo, diadili di PN Depok gara-gara mengkritik pembakaran buku sejarah oleh Kejaksaan Negeri Depok. Aduh, ini bener-bener parah. Sudah walikotanya suka bakar buku, kini kejaksaannya nuntut wartawan.

Walikota dan Kejaksaan itu seharusnya berpikir. Buku ya dilawan buku. Tulisan ya dilawan tulisan. Bukan mentang-mentang punya kuasa lalu main tuntut seenaknya!

Ini tulisan Bang Bersihar Lubis di Koran Tempo 1 Maret 2007 itu. Semua aku peroleh dari milis Pantau-Komunitas yang dikirim Bonnie Triyana. Ini sebagai bentuk solidaritas untuk Bang Bersihar, meski tidak pernah kenal.

==

PENDAPAT
KISAH INTEROGATOR YANG DUNGU

Bersihar Lubis**

SYAHDAN, Joesoef Ishak diinterogasi selama sebulan oleh Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman “Anak Semua bangsa” karya Pramodya Ananta Toer. Joesoef adalah penerbit Hasta Mitra (1980) dan penerbit karya Pram yang kemudian dilarang. Ia disekap di penjara pada 1965 dan 1966. Meringkuk lagi di penjara Salemba sejak 1967 selama 10 tahun. Atas keberaniannya menerbitkan karya Pram, ia menerima hadiah “Jeri Laber Pour Ia Liberte de l’edition” dari Perhimpunan Para Penerbit Amerika, partner Pen American Center pada April 2004 lalu di New York.

Saat tampil berbicara pada “Hari Sastra Indonesia” di Paris pada Oktober 2004 lalu, Joesoef pun bertutur tentang jalannya interogasi tersebut. Mulanya, ia mengusulkan supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah simposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya Pram. Tapi ternyata ditolak. Alasannya, interogator lebih paham dari siapapun bahwa “Bumi Manusia” dan “Anak Semua Bangsa” adalah karya sastra Marxis. Anehnya, ketika diinterogasi, aparat kejaksaan meminta Joesoef untuk menunjukkan baris-baris mana yang menunjukkan adanya teori Marxis dalam buku Pram. Sikap sok tahu yang menyedihkan itu pun terungkap.

Ketika Joesoef diminta meneken berita acara pemeriksaan, para interogator tersenyum. “Buku-buku Pram luar biasa. Apakah bapak mempunyai eksemplar tersisa? Istri saya belum membacanya. Bisakah bapak mengirimkan satu eksemplar ke rumah saya?” kata si interogator. “Pak Joesoef hendaknya maklum bahwa apa yang saya lakukan hanyalah melaksanakan perintah atasan,” tambah si interogator. “Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kedunguannya,” kata Joesoef.

Kisah lama itu diungkap ketika Jaksa Agung menerbitkan Surat Keputusan pada 5 Maret 2007 lalu. Isinya, melarang peredaran buku teks pelajaran SMP dan SMU setingkat karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948 dan Peristiwa Pemberontakan PKI pada 1965. Gerakan 30 September (G30S) 1965 memang tercantum, tetapi tanpa menyebut keterlibatan PKI. “Itu pemutarbalikan fakta sejarah,” kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin, Jumat 9 Maret lalu.

Pelarangan buku-buku sejarah untuk siswa SMP dan SMU setingkat yang dikeluarkan Kejaksaan Agung itu pun menimbulkan pertanyaan. Apakah didasarkan pada telaah ilmiah dari para sejarawan, atau hanya karena sekedar kekuasaan? Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah.

Jika buku sejarah yang dilarang oleh Jaksa Agung tersebut tidak mencantumkan PKI sebagai pemberontak pada 1965, tidak mengherankan. Banyak sekali buku publikasi domestik dan luar negeri yang meragukan keterlibatan PKI, meskipun versi pemerintah menyebut PKI tetap terlibat. Akibatnya, di masyarakat muncul beragam versi yang berbeda, sehingga menurut Jaksa Agung Muda Muchtar dapat menimbulkan keresahan dan pada akhirnya akan mengganggu ketertiban umum.

Mungkin, Muchtar khawatir terhadap munculnya sensor horisontal dari pihak di luar kekuasaan, seperti istilah John H. McGlynn dalam makalahnya “Shapes of Censoring Durung The New Order” (2004) pada “Hari Sastra Indonesia” di Paris. Misalnya, “sweeping buku-buku kiri” di awal 2000 lalu. Tetapi, bagaimana bisa disebut berbahaya, jika karya buku dan seni hanyalah karya pribadi yang tidak mempunyai pasukan tentara atau polisi, juga tidak mempunyai pasukan penumpas?

Sebaliknya, pemerintah lupa bahwa di zaman teknologi informasi global ini, arus buku, karya seni, film dan budaya massa dunia bisa diakses dan merasuk ke Indonesia tanpa bisa disetop. Pemerintah malah berambisi sekaligus sebagai ilmuwan, pendeta, ulama, sejarawan, kritikus sastra dan penjaga peradaban ketika kasus korupsi, masalah kemiskinan dan pengangguran masih membukit di pelupuk mata. Tugas itu tidak hanya terlalu berat, dan sia-sia tetapi juga tidak ilmiah.

Menurut menurut Benedetto Croce seorang filsuf sejarah kelahiran Italia (1866-1952), bahwa “Every true story is contemporary history (setiap sejarah yang benar adalah sejarah masa kini). Artinya, kebenaran buku sejarah itu relatif. Dianggap benar pada masa Orde Baru bisa sebaliknya pada masa reformasi. Buku sejarah adalah gambaran mengenai masa lampau, walau tidak sama persis dengan masa lampau.

Gambaran yang obyetif sukar dicapai, maksimal hanya bisa mendekatinya. Lagi pula, setiap tulisan sejarah selalu mencerminkan ide si penulis bertolak dari visi dan tafsirnya sendiri. Akibatnya, topik yang sama bisa berbeda di antara beberapa penulis. Pendapat penulis pun bisa dipengaruhi oleh suasana zamannya. Misalnya, soal keterlibatan PKI dalam G30S, mungkin karena tokoh yang berperan dalam peristiwa itu dan sedang berkuasa pula menginginkannya ditulis. Sejarawan lain menganggapnya tidak relevan karena tak didukung bukti dan fakta sejarah.

Situasi sosio budaya selalu mengalir sehingga ide, penilaian dan tafsir sejarah bisa berubah dan muncullah berbagai versi berbeda. Ada versi pemerintah, ada versi sejarawan yang independen. Buku sejarah yang ditulis tak berhak memonopoli kebenaran, apalagi hendak memperbaiki buku sejarah yang ada, termasuk versi pemerintah. Melainkan cuma menulis kembali dengan visi, tafsir dan metodologi yang berbeda. Yang beruntung adalah generasi kemudian yang mewarisi kekayaan sejarah, dan terpulang kepada mereka untuk memahaminya secara arif dan rasional.

Memonopoli kebenaran sejarah itu absurd. Apalagi sejarah selalu ditulis tidak pada saat terjadi, tapi jauh setelah peristiwa itu terjadi. Merekayasa sejarah yang telah terjadi akan cenderung mereduksi sejarah. Rekayasa adalah perbuatan ke depan, misalnya seseorang yang hendak memenangkan Pemilihan Presiden. Yudhoyono pernah berhasil pada 2004 lalu. Sejarah tak mungkin menulis Yudhoyono gagal menjadi presiden pada 2004 lalu, bukan?

**Penulis tinggal di Depok.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *