Ketika Batas itu Kian Tak Jelas

0 , , Permalink 0

Globalisasi membuat kategorisasi kian tak penting lagi.

Mungkin itu salah satu poin penting yang kami peroleh setelah live in selama sekitar 24 jam di Pulau Serangan, Denpasar Selatan Senin pekan lalu. Kesimpulan itu muncul begitu saja ketika kami diminta membuat semacam refleksi setelah live in.

Refleksi live in tersebut termasuk salah satu proses dalam pelatihan riset yang diadakan Centre for Innovation, Policy, and Governance (CIPG) yang aku ikuti.

Agak terlalu jauh mungkin jika hanya dilihat sekilas. Namun, jika diturunkan dalam bentuk sebab akibat, maka akan terlihat bahwa perubahan di Serangan pun tak bisa dilepaskan dari makhluk besar bernama globalisasi itu.

Serangan dulunya pulau terpisah dari Bali daratan. Atas nama pariwisata, tentu di dalamnya juga ada modal besar sekaligus dampak globalisasi, maka ditimbunlah pulau ini jadi empat kali lipat dari luas awal.

Dampak dari penimbunan ini adalah hilangnya sumber penghidupan nelayan serangan. Ikan hias maupun ikan tangkapan hilang atau setidaknya jauh berkurang. Kini, nelayan Serangan tak bisa lagi menggantungkan hidup dari pekerjaan sebagai nelayan.

Hilangnya sumber penghidupan ini hanya salah satu dampak globalisasi, yang dalam kasus di Serangan diwakili oleh pariwisata. Dampak lainnya, baik ataupun buruk, terjadi pula di bidang ekonomi, sosial, budaya. Banyak..

Namun, hal yang menarik sesuai dengan tema live in di Serangan adalah hilangnya ikan-ikan yang biasa ditangkap nelayan Serangan. Akibatnya, mereka kini tak lagi menggantungkan sumber pendapatan dari menangkap ikan yang sebenarnya pekerjaan utama nelayan.

Jadinya agak lucu. Nelayan kok tidak menangkap ikan? Inilah yang aku maksud dengan tak jelasnya batas atau kategorisasi itu tadi.

Meski sudah tak menangkap ikan, orang-orang di Serangan itu tetap menyebut diri sebagai nelayan. Nama kelompok mereka pun masih Kelompok Nelayan Karya Segara. Sekali lagi meski mereka tak lagi menangkap ikan.

Mereka kini hidup menggantungkan diri dari usaha budi daya bibit terumbu karang. Bibit ini mereka kembangkan untuk kemudian dijual sebagai tanaman hias. Wayan Patut salah satu penemu teknologi pengembangan bibit terumbu karang. Karena teknologi ini, Patut jadi salah satu fellow Ashoka, lembaga pendukung kewirausahaan sosial. Malah, kelompok nelayan ini juga mendapat Penghargaan Kalpataru 2011 lalu.

Jadi ya begitu tadi. Meski tak lagi menangkap ikan, mereka masih dianggap sebagai nelayan. Globalisasi membuat nama pekerjaan dengan kegiatan yang dipekerjakan tak lagi jelas.

Tapi, itu pun bukan monopoli nelayan di Serangan. Aku yakin lebih banyak lagi pekerjaan lain mengalami hal serupa. Contohnya aku saja deh. Pekerjaan tetap memang wartawan tapi pendapatan tetap justru karena bekerja sebagai staf publikasi lembaga donor. Itu pun masih dengan mengurus Sloka, yang dalam bahasa sederhana disebut lembaga swadaya masyarakat (LSM). Jadi ya wartawan ya staf LSM ya pengurus LSM. Kategorisasi justru membatasi.

Di luar sana pasti lebih banyak lagi. Banyak pekerjaan dan kegiatan makin kabur kategori dan artinya. Tak jelas mau dimasukkan dalam kategori mana. Apalagi jika dia bekerja di dunia kreatif. Bisa jadi pula tak melulu jenis pekerjaan tapi juga lokasi.

Gara-gara globalisasi, membicarakan kategori kadang tak relevan lagi.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *