Kebangkitan Orde Baru Jilid II

0 No tags Permalink 0

(Jawa Pos, Kamis, 11 Des 2003)

Kebangkitan Orde Baru Jilid II

Oleh Anton Muhajir *

Pernyataan ketua umum Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang ingin mencalonkan Siti Hardiyanti Rukmana – akrab dipanggil Mbak Tutut- sebagai presiden tentu mengejutkan banyak kalangan. Pencalonan ini menyusul lolosnya partai yang dipimpin R Hartono tersebut. Artinya, Tutut -jika benar-benar dicalonkan kelak- akan menantang Megawati dalam pemilihan umum tahun depan. Dengan alasan demokrasi, bukankah ini sesuatu yang sah?

Namun, mengaca pada pencalonan Tutut saat ini dan belajar pada Pemilu 1999, akan melahirkan beberapa kekhawatiran.

Pelajaran pertama pada Megawati Soekarnoputri. Pada masa Orde Baru, Megawati merupakan simbol perlawanan kaum demokrat terhadap tirani Orde Baru. Identitas sebagai pembela wong cilik dilekatkan erat kepada Megawati. Hasilnya, PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati menjadi partai pemenang pada Pemilu 1999.

Namun, pada praktiknya, simbol pada Megawati ini kemudian menjadi sesuatu yang ternyata hanya seolah-olah. Mitos. Pencitraan terhadap Megawati hanyalah sesuatu yang bila dianalogikan dengan pernyataan Umberto Eco dalam cultural studies sebagai hiper-reality, kenyataan berlebihan dari kenyataan sebenarnya. Tidakkah itu berarti selama ini kita telah tertipu pada identitas, citra, atau apa pun itu yang telanjur dilekatkan kepada Megawati?

Hal ini yang, barangkali, perlu kita khawatirkan dalam menyikapi pencalonan Tutut sebagai presiden pada pemilu mendatang. Sebab, meski tidak secara jelas, romantisme Orde Baru-lah yang menjadi salah satu modal PKPB untuk maju dalam pemilu. Akibat transisi kepemimpinan masih absurd, tidak sedikit masyarakat yang rindu kesejahteraan pada masa Orde Baru. Padahal, tidakkah kesejahteraan pada masa Orde Baru juga sesuatu yang seolah-olah? Tidakkah nanti Tutut akan memanfaatkan romantisme Orba ini untuk menggalang massa lalu pada kemudian hari terbukti bahwa kesejahteraan itu hanya kamuflase?

Pencalonan Tutut pun melahirkan kekhawatiran bahwa ini skenario besar lahirnya Orde Baru jilid II. Kita bisa melihatnya pada pejabat-pejabat Orde Baru yang mendominasi pencalonan Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Mantan pejabat Orde Baru seperti Ginandjar Kartasasmita, Subiyakto Tjakrawerdaya, Sarwono Kusumaatmaja, Tanri Abeng, dan Beddu Amang bahkan lolos sebagai calon tetap DPD (koran ini, 10/12).

Di sisi lain, meski dengan jargon paradigma baru, Golkar yang pernah menjadi partai kendaraan rezim Soeharto pun kini masih memiliki massa yang tidak sedikit. Bahkan, pada pemilu lalu, jumlah pemilihnya berada pada urutan kedua setelah PDI Perjuangan.

Fenomena kembalinya orang-orang Orde Baru saat ini, bisa jadi, sama dengan skenario TNI (ketika itu ABRI) pada pergantian Orde Lama ke Orde Baru. Mengutip Muhadjir Effendy (2002), pada masa transisi tersebut, TNI menempatkan pasukan di lembaga-lembaga kekuasaan, baik legislatif maupun eksekutif. Melalui konsensus nasional, TNI berhak mengangkat 100 orang anggota DPR sebagai wakilnya dari 360 anggota DPR yang ada. Di eksekutif pun terjadi dari pemerintah pusat sampai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalihnya ketika itu adalah stabilitas nasional.

Pola penempatan pasukan ini dilakukan Orde Baru melalui penempatan kader di sejumlah partai. Beberapa partai yang lahir pasca-Mei 1998 pun dengan yakinnya menjadikan mantan pejabat Orde Baru tersebut sebagai pengurus pada Pemilu 1999 lalu. Sebut saja Fuad Bawazier di PAN atau Theo Syafe’i di PDI Perjuangan. Tutut pun dicalonkan PKPB yang dipimpin R Hartono, mantan kepala staf Angkatan Darat. Jadi, pencalonan Tutut adalah hal paling vulgar dari kembalinya pejabat Orde Baru. Sebab, Tutut sekaligus merepresentasikan hal yang menjadi musuh bersama mahasiswa ketika turun ke jalan pada Mei 1998, yaitu Soeharto, Orde Baru, dan TNI. Tidakkah hegemoni Orde Baru Jilid II itu tinggal menunggu waktu?

Siti Hardiyanti Rukmana pun tidak bisa menghilangkan statusnya sebagai putri Soeharto. Dia mirip Megawati yang hampir tidak pernah menanggalkan statusnya sebagai putri Soekarno. Sama halnya dengan Imelda Marcos di Filipina, Benazir Bhuto di Pakistan, dan Goerge W. Bush di Amerika Serikat. Memang tidak ada yang bisa menolak kita akan lahir sebagai anak siapa. Namun, dalam konteks demokrasi di Indonesia (atau mungkin di mana saja) selama ini, terlahir sebagai anak siapa turut menentukan kita akan menjadi apa. Hal yang perlu dikhawatirkan ialah pencalonan Tutut akan semakin menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia belum mampu menghilangkan praktik feodalisme itu.

Terakhir, majunya mantan menteri sosial itu pun, jangan-jangan, akan membuat bangsa ini semakin lebih melihat figur daripada apa yang dilakukan figur tersebut. Tutut tentu akan menjadi alat kampanye PKPB sebagaimana figur Megawati, Amien Rais, Gus Dur, Hamzah Haz, dan lainnya. Sehingga orang akan memilih PDI Perjuangan karena Megawati, PAN karena Amien Rais, PKB karena Gus Dur, PKPB karena Tutut.

Siapa calon presidennya lebih penting daripada apa program partai yang mencalonkannya. Tidakkah itu berarti kita telah terjebak pada demokrasi figuritas?

* Anton Muhajir, mahasiswa Program Studi Teknologi Pertanian (PSTP) Universitas Udayana, Bali

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *