Ironi MDGs Ironi Saya Juga

2 No tags Permalink 0

Kami berada di ruangan dingin ber-AC di kawasan Kuta, tempat di mana banyak bule berjemur mencari panas di pantai. Ketika baru masuk ruangan, beberapa orang malah minta agar AC dimatikan karena saking dinginnya.

Maaf, saya mungkin agak kuno. AC bagi saya masih merupakan simbol kemewahan. Di rumah kami di pinggir Denpasar Utara misalnya, saya dan istri lebih memilih membuat jendela sebanyak-banyaknya dan rumah seterbuka mungkin agar tidak perlu AC. Kalau nebeng mobil teman, saya lebih suka membuka jendela dari pada menghidupkan AC. Selain udaranya lebih segar, kalau pakai AC juga bikin pusing. Pengen muntah. Sekali lagi maaf. Kami memang ndeso.

Kembali ke ruangan tempat kami diskusi siang itu. Saya di sana hanya untuk merekam semua pembicaraan, bukan untuk terlibat dalam diskusi. Jadi banyak waktu untuk melihat sambil iseng-iseng mikir apa yang sedang terjadi.

Kami, tepatnya mereka, mendiskusikan strategi pencapaian millenium development goals alias MDGs. Inilah mantra sakti bagi banyak negara, terutama negara berkembang, untuk mengindikasikan berhasil tidaknya sebuah pembangunan. Ada delapan tujuan yang ditetapkan PBB, bukan PBB-nya Yusril Ihza Mahendra tapi Persatuan Bangsa Bangsa -apa Persatuan Bangsa-bangsa ya nulisnya?

Delapan tujuan pokok itu antara lain adalah pengentasan kemiskinan, pendidikan dasar, pemberdayaan perempuan, penanggulangan HIV/AIDS dan malaria, pengurangan kematian balita, kesehatan ibu, pelestarian lingkungan, dan kerja sama global. Tiap isu itu bisa dibreakdown lagi dalam beberapa poin. Soal kemiskinan misalnya termasuk makin berkurangnya akses orang miskin terhadap air bersih.

Penyebab makin berkurangnya akses terhadap air bersih itu adalah makin banyaknya air yang dikuasai pihak swasta. Contoh paling jelas, petani tak bisa lagi mendapatkan air karena sumber air mereka dikuasai Danone, perusahaan produsen Aqua yang dua hari lalu mengundang Zinadine Zidane main bola sama SBY.

Di ruangan itu kami membicarakan strategi agar air minum itu bisa diakses orang-orang miskin. Lalu ketika haus, kami menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya. Merk air minum itu Aqua.

Kok jadinya ironi ya?

Di sisi lain ada kesan mengecam privatisasi air, namun kami semua menikmati hasil produksi perusahaan swasta air minum tersebut. Bisa jadi juga dengan menggunakan AC ketika kami mendiskusikan rusaknya lingkungan. Di logika saya yang pas-pasan ini, jelas itu hal yang bertolak belakang.

Inilah ironi kita semua. Terlalu sibuk berpikir yang berat lalu lupa yang sepele-sepele seperti itu. Saya sendiri pun dengan PD sering sebal dan prihatin dengan kerusakan lingkungan. Tapi ya tetep saja malas memisahkan sampah anorganik dengan organik. Sering bilang nyinyir dengan trans-national corporation (TNC) tapi produk di rumah seperti sikat gigi, sabun, shampo, semua produk Unilever.

Juga pagi itu dengan PD-nya pakai kaos F*ck Television tapi ketika masuk kamar langsung cari MTV. Aduh, aduh. Saya ternyata sama saja. Tidak ada bedanya. Lebih suka melihat kuman, sampai lupa gajah di depan mata. [+++]

2 Comments
  • Anonymous
    July 11, 2007

    emang banyak sih ton sudut-sudut yang ngandung ironi, trus kita selorohnya seringnya gini …”kok bisa gitu sih?” ato “aneh,ih!jadi orang kok gitu” ato ekstrimnya “bacrit lu! begini aja gak bisa!” Ungkapan yang cerminin bahwa apa yang terjadi di sekitar kita, sama sekali gak sesuai sama yang ada diprogram kita…yah..namanya juga banyak orang pinter, banyak juga buah pikiran, dan banyak juga benturan2 pikiran diantara orang2 pinter ini. wajar!! namanya juga orang pinter. kamu juga ngerasa ironi, wah kaykanya kamu tergolong orang pinter dunk…hehehehe basi yah dibilang pinter!!SISKA-ku

  • okanegara
    July 11, 2007

    ha ha..ini menarik..sama waktu anak-anak punk bilang anti dengan kemapanan anti dengan produk konsumerism modern,…padahal kalo ngerokok rokoknya marlboro semua..dan pastinya pernah madi, sabunnya sabun lux…hue..seru juga nih ton.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *