I Nyoman Sadra Meneruskan Kesederhanaan Gandhi

0 No tags Permalink 0

-dimuat 18 Maret 2007 di Media Indonesia-

Sang Pionir,
I Nyoman Sadra Meneruskan Kesederhanaan Gandhi

Berada di Candi Dasa membuat Ashram Gandhi seperti oase. Tempat belajar agama Hindu ini dikepung hotel, bungalow, restoran, dan bar. Ashram Gandhi mengajarkan kesederhanaan ketika tempat lain menyajikan kesenangan duniawi. Penghuni Ashram Gandhi memilih beryoga, berpuja, dan berdoa ketika turis asing menikmati pantai atau sekadar bersantai di ketenangan kawasan wisata ternama di Bali timur tersebut.

Jumat tengah hari lalu misalnya empat orang duduk di balai tempat yoga di ashram yang masuk wilayah Kecamatan Manggis, Karangasem itu. Mereka menggumamkan puja dan doa dalam bahasa Sansekerta. Selesai berdoa, makan siang disajikan di balai yang sama. Menunya vegetarian. Inilah kesederhanaan yang dilakukan Ashram Gandhi Candi Dasa. Ini pula yang diteruskan pengasuh Ashram Candi Dasa saat ini I Nyoman Sadra.

Ashram Candi Dasa, berdiri sejak 1976, merupakan pusat dari dua ashram lain yaitu Ashram Gandhi Vidyapith Denpasar, berdiri sejak 1996, dan Ashram Gandhi Vidyapith Yogyakarta, berdiri sejak 1997. Tiga ashram ini didirikan Ibu Gedong Bagoes Oka. Bu Gedong, panggilannya, salah satu pendiri World on Religion and Peace serta aktif di berbagai organisasi yang mendorong dialog lintas iman.

Meski ashram identik sebagai tempat belajar agama Hindu, Ashram Gandhi Candi Dasa sebenarnya bisa jadi tempat belajar lintas iman. Orang Islam, Nasrani, Budha, bahkan tak beragama pun bisa belajar di sini. Sebab mereka mengajarkan hal universal. Tak hanya yoga mereka juga belajar pertukangan, menganyam, mengobati, menjahit, pertanian, dan kebudayaan.

Saat ini di ashram yang persis di pantai Candi Dasa itu juga ada kegiatan pendidikan Taman Kanak-kanak, Klinik, dan pengobatan tradisional. Sadra yang juga ahli akupuntur pun memberikan layanan.

Dialog lintas iman pun terus dilakukan. Tak melulu tentang agama tapi juga masalah lain termasuk HIV dan AIDS.

Bersama Interfidei Yogyakarta, I Nyoman Sadra pun terlibat dalam diskusi toleransi antar agama ke beberapa daerah konflik atau yang punya potensi konflik. Dia mempromosikan perdamaian antar-agama ke Poso, Padang, Manado, dan Lombok. “Kami bicara tentang pluralisme. Kalau kita tidak saling memahami, konflik tidak akan reda,” lanjutnya.

Sadra yang juga anggota Sarvodaya International Trust, organisasi internasional pengikut Gandhi yang berbasis di Bangalore India, itu mengasuh Ashram Gandhi Candi Dasa sejak Bu Gedong meninggal pada 2002. Sebelumnya, teman sekaligus murid senior Bu Gedong ini mengurus masalah kesehatan, pertanian, pendidikan, dan komunikasi dengan masyarakat. Dia pun ikut mendirikan dua sekolah swasta tak jauh dari ashram yaitu SMA 1 Manggis dan SMA Dharma Kerti, Karangasem.

Menurut Sadra Ashram Gandhi didirikan untuk meneladani dan menerapkan apa yang sudah dilakukan tokoh anti-kekerasan kelahiran India Mahatma Gandhi. Tiga hal utama yang diajarkan Gandhi yaitu Sad (kebenaran), Ahimsa (emoh kekerasan), dan Karuna (cinta kasih). “Semua ini bersumber dari Weda. Tapi Gandhi menerapkan dalam hidup sehari-hari serta menyebarluaskannya,” kata Sadra.

Ajaran Gandhi, lanjut Sadra, masih terus layak diterapkan. Misalnya tentang kebenaran. Banyak orang yang tidak mau mengatakan bahwa ada yang tidak benar karena takut. “Padahal kalau kita tidak mengungkapkan ketidakbenaran berarti kita mendukungnya,” ujar bapak tiga anak ini. Sadra menerapkannya sendiri di lingkungan paling kecil. Dia tidak mau menandatangani formulir Bantuan Operasional Sekolah (BOS) karena Sadra yang juga anggota Komite Sekolah di SD 1 Tenganan, Karangasem ini tahu ada praktik tidak benar dalam proses pengadaan bantuan itu.

Di tengah banyaknya bencana dan musibah di negara ini, lanjutnya Sadra, ajaran tentang Ahimsa dan Karuna sangat tepat diterapkan. “Emoh kekerasan dan cinta kasih seharusnya tak hanya pada sesama manusia tapi juga pada alam,” katanya.

Di Ashram Gandhi Candi Dasa ajaran Gandhi tidak hanya dituliskan di dinding-dinding ashram tapi juga diterapkan dalam keseharian. Misalnya pikiran tentang kesederhanaan. Pejuang kemerdekaan India itu pernah mengatakan, “Live simply so that others may simply live.” Vegetarian, salah satu hal yang dilakukan di Ashram Gandhi merupakan praktik Ahimsa sekaligus kesederhanaan itu.

Sejak ikut belajar di Ashram Gandhi Candi Dasa, Sadra memilih vegetarian. Dia tidak mau makan daging hewan. Akibatnya mantan Kepala Desa Tenganan ini sampai pernah mengalami tekanan darah rendah karena kekurangan protein hewani. Sejak 1988 dia memutuskan sekali-kali makan daging. “Di Bali agak susah juga untuk vegetarian. Sebab ritual adat juga memerlukan daging. Selain itu ketika masih vegetarian, saya justru sering menyusahkan orang lain. Kalau diundang makan malah bikin repot.” Sadra tertawa.

Menurut pria kelahiran Karangasem, 19 Mei 1951 ini, sekarang banyak orang tak mau hidup sederhana karena tak bisa membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Kebutuhan adalah sesuatu yang harus dipenuhi. Sedangkan keinginan hanya karena ketidakmampuan diri untuk mengendalikan nafsu kesenangan. “Kita perlu contoh orang sederhana itu,” katanya. Sadra tak berteori saja, dia pun melakukannya. Dia ikut bekerja di Ashram seperti menanam tanaman obat dan membuat gantungan kunci. “Karena pekerjaan efektif untuk mengendalikan pikiran itu. Bekerja itu yoga in action,” lanjutnya.

Sadra memprihatinkan banyaknya orang yang sekarang berpakaian mewah. Hal ini pun terjadi di Bali. “Bu Gedong sampai pernah berkata, ‘Kasian perempuan Bali. Mereka kerja banting tulang hanya untuk beli bedak dan lipstik. Padahal kalau dilihat secara mendalam, kecantikan karena bedak dan lipstik itu kan palsu semua.’ Kita ini sudah menikmati kepalsuan diri sendiri,” urai Sadra yang pernah belajar tentang Gandhi selama 1,5 tahun di India ini.

Hari raya Nyepi (19/3) besok menurut Sadra adalah momentum untuk mengingatkan diri akan kesederhanaan tersebut. “Nyepi adalah waktu untuk introspeksi. Untuk melihat apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Kemudian apa yang harus kita kerjakan di waktu akan datang untuk meningkatkan hidup kita, terutama menyangkur hal-hal spiritual,” kata Sadra.

Pada saat Nyepi di Bali dikenal adanya catur brata penyepian yaitu amati lelangunan, tidak boleh berpergian. “Masalahnya kalau, tubuh kita diam tetapi pikiran kita ke mana-mana kan sama saja bohong. Weda mengatakan kita berada di mana pikiran kita berada, bukan di mana fisik kita berada,” ujar Sadra. Ada amati lelanguan berarti tidak boleh bersenang-senang. Amati geni berarti tidak menghidupkan api. “Tapi menurut saya itu berarti mematikan amarah. Bagaimana kita meredam emosi,” lanjutnya. Amati karya berarti tidak bekerja.

Di tengah kondisi bangsa yang banyak bencana dan musibah, lanjut Sadra, Nyepi bisa jadi momen untuk mengintrospeksi. “Misalnya tanah longsor dan banjir. Itu kan karena perbuatan kita. Mengacu pada Bhagwadgita apa yang terjadi adalah akibat perbuatan di masa lalu dan apa yang terjadi di masa depan adalah akibat perbuatan kita sekarang,” jelasnya.

Musibah dan bencana, menurutnya, terjadi karena manusia tidak mau hidup sederhana. Manusia hanya mengejar kesenangan duniawi. “Kita tahu bahwa itu berbahaya tapi kita tidak mau mengubahnya. Pemahaman masih sebatas intelektual, belum pada tataran perilaku. Padahal true understanding is doing. Perilaku kita masih pada fokus membuat senang tanpa memikirkan apa yang harus kita bayar untuk memenuhi kesenangan itu. Kita dikuasai konsumerisme. Apa pun yang kita lihat hanya mengarah pada kesenangan,” tuturnya.

Parahnya, pendorong konsumerisme ini punya modal besar. Mereka juga menggunakan ritual agama sebagai modal. Sadra mencontohkan upacara di kampung yang sampai menggunakan lelontek (umbul-umbul) bermerk produk tertentu. “Konsumerisme sudah masuk di agama,” ujarnya, getir. [***]

+++

Testimoni
Pak Man is Good Manager

Sebagai ashram, Ashram Gandhi Candi Dasa tak hanya jadi tempat belajar agama. Di ashram, semacam pesantren dalam Islam atau seminari dalam Kristiani, ini murid juga belajar cara bercocok tanam. Inilah yang mendorong Kawidana, 37 tahun, untuk ikut di Ashram Gandhi Candi Dasa, Karangasem.

Sejak 1995, setelah lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali, pria yang akrab disapa Kawi ini bergabung dengan Ashram Gandhi Candi Dasa. Dia tertarik menerapkan pertanian organik di ashram yang didirikan Gedong Bagoes Oka tersebut. Ketika Bu Gedong meninggal pada 2002, sempat ada ketidakjelasan apakah ashram tersebut akan diteruskan atau tidak. Rapat keluarga Bu Gedong memutuskan bahwa Ashram Gandhi akan diteruskan dan diasuh I Nyoman Sadra, teman sekaligus murid senior Bu Gedong. Namun pada saat itu Kawi sudah kadung keluar dan bekerja di tempat lain.

Setelah ada kepastian bahwa Sadra yang akan mengelola Ashram Gandhi, Kawi yang pernah aktif di Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma (FPMHD) Bali itu ikut membantu kembali. “Tapi saya tidak bisa penuh membantu di sini,” kata bapak dua anak itu.

Kawi yang pernah belajar tentang Gandhi di India pada 1996 hingga 1997 itu kini membimbing kelas yoga. Tiap Selasa, Kamis, dan Sabtu dia membimbing yoga empat kali sehari, pagi, siang, sore, dan malam.

Menurut Kawi ada perbedaan antara pengelolaan Ashram Gandhi ketika masih diasuh Bu Gedong dengan ketika diasuh Nyoman Sadra. “Kalau Ibu (Gedong) masih ada, Ashram etrlalu Ibu oriented. Semuanya harus beliau yang menentukan. Mungkin karena beliau sekaligus pemilik, pembina, dan ketua. Jadi orang lain segan pada Ibu,” katanya. Pada saat itu Kawi merasa Bu Gedong adalah orang yang sangat tinggi.

Kini ketika diasuh Pak Man, panggilan Kawi pada Sadra, ashram lebih terbuka. “Pak Man is good manager,” kata Kawi yang istrinya juga bekerja di Ashram Gandhi sebagai ahli akupuntur. Tidak ada lagi sentralisme dalam pengelolaan Ashram Gandhi. Di sisi lain misi social service yang sejak awal diperjuangkan Bu Gedong pun masih dilakukan.

Meski demikian, lanjut Kawi, Pak Man menghadapi masalah karena sering berhadapan dengan keluarga Bu Gedong yang kurang bisa membuka untuk membuat program baru. “Sebenarnya banyak ide dan program Pak Sadra. Tapi tidak bisa dikerjakan karena tidak disetujui keluarga Bu Gedong,” lanjutnya.

Di sisi lain, menurut Kawi, Pak Sadra pun menghadapi susahnya pembagian waktu antara di desa dengan di ashram. Maksudnya bagaimana membagi waktu antara mengurus desa dengan tetek bengek upacara dan pada saat yang sama juga mengurusi Ashram Gandhi. Itu yang susah. “Tapi saya bisa memahami itu. Tiap orang Bali kan selalu punya masalah seperti itu,” katanya. [***]

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *