Habis Solar Terbit Jatropha

1 No tags Permalink 0

-Konon, Rudolf Diesel mati dibunuh pengusaha minyak. Sebab pencipta mesin Diesel itu sejak awal menciptakan mesin yang menggunakan minyak nabati, kalo ga salah minyak kacang, sebagai bahan bakar. Tak lama kemudian ditemukan minyak bumi. Ada booming. Semua mesin kemudian bergantung pada minyak bumi seperti solar, bensin, dst. Ada korpoarsi besar BP, Exxon, Pertamina, Shell, dst di balik ketergantungan dunia pada minyak bumi. Aku jadi inget buku Confession of Economic Hitman.

Lalu muncul kembali minyak jarak alias Jatropha. Dari kaca mata filosofis ya mungkin ini bagian dari pomodernisme. Gawat banget.. :)). Karena itu laporan utk kantor ini tak posting di blog. Sebab ini sekaligus uji coba pertama di dunia. Kalau kemudian minyak jarak juga jadi bahan bakar penting bagi mesin di masa depan, paling tidak aku pernah liat langsung peristiwa bersejarah itu. “Nanti kita usul ke Depdiknas agar nama kita dimasukkan buku sejarah,” kata Tantyo Bangun. Tentu saja bercanda.-

===========================================================
Ekspedisi Jatropha 2006 membuktikan minyak jarak lebih irit dibanding solar. Cuaca dan gaya menyetir berpengaruh.

Tepat pukul 15.00 wita, tim Jatropha Expedition 2006 tiba di pelabuhan Gilimanuk, Bali Selasa lalu. Jarak sekitar 150 km itu ditempuh dari Sanur, Denpasar tiga jam. Di antara padatnya lalu lintas Denpasar-Gilimanuk, sepuluh mobil itu berkonvoi meliuk-liuk. Meski jalan raya lebih banyak naik turun dan berkelok-kelok, mobil yang saya tumpangi tak terlalu terasa naik turun. Tarikannya stabil. Padahal mobil itu menggunakan bahan bakar minyak jarak (Jatropha curcas L).

Saat mobil berjalan, tidak ada bedanya sama sekali penggunaan solar maupun minyak jarak. Menjelang pelabuhan Gilimanuk misalnya converter di mobil dipencet untuk memindahkan bahan bakar dari minyak jarak ke solar. Mobil tetap berjalan. Bahan bakar pun berganti. Namun laju mobil tetap pada 60 km per jam. Tak terasa tiba-tiba pelan seperti pindah gigi. Ketika kembali menggunakan minyak jarak pun tetap tak terasa. “Kalau pakai minyak curah perpindahannya terasa,” kata Prabowo Kartolaksono, peneliti yang mengotak-atik mesin sebelum digunakan dalam ekspedisi.

Jatropha Expedition merupakan perjalanan ujicoba menggunakan bahan bakar minyak jarak yang diadakan Majalah National Geographic Indonesia bekerja sama dengan Pusat Penelitian Bioteknologi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan perusahaan energi Bio Chem. “Kami ingin membuktikan secara empiris kelayakan minyak jarak sebagai bahan bakar,” kata Tantyo Bangun, pemimpin redaksi National Geographic Indonesia.

Ide ini muncul berawal dari perkenalan Tantyo dengan Robert Manurung, Kepala Puslit Bioteknologi ITB yang intens meneliti penggunaan minyak jarak sebagai bahan bakar. Sejak April 2005 lalu mereka gerilya mengajak pihak lain terlibat termasuk mencari bahan bakar seperti kebutuhan, antara 600 hingga 700 liter. Minyak jarak itu diperoleh dari Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur.

Sebagai perbandingan, selama ekspedisi ada tiga mobil yang diujicoba. Mobil bernopol B 9711 WU yang saya tumpangi merupakan mobil yang menggunakan bahan bakar minyak jarak 100 persen. Mobil lain menggunakan bahan bakar campuran 50 persen minyak jarak dan 50 persen solar. Mobil terakhir menggunakan 100 persen solar. Semua mobil berjenis sama, Mitsubishi Strada Double Cab. Rabu pekan lalu perjalanan dimulai dari Atambua, Nusa Tenggara Timur menuju Bandung.

Tim peneliti dipimpin Prabowo, konsultan di PT Agraprana yang sudah biasa melakukan konversi mesin dari bahan bakar solar berganti minyak nabati termasuk jarak dan minyak curah. Sebelum diuji coba, ketiga mesin itu dikondisikan jadi nol. “Agar ketiga mesinnya sama,” kata Prabowo. Pada mesin berbahan bakar 100 persen minyak jarak dilengkapi converter untuk memindahkan penggunaan bahan bakar dari solar ke minyak jarak.

Menurut Prabowo, converter perlu karena minyak jarak tidak bisa langsung digunakan saat mesin dingin. Kalau menyalakan mesin pertama kali harus menggunakan solar. Saat suhu mesin sudah 50o C baru pindah ke minyak jarak. Kalau langsung jalan ya sekitar 300 meter pertama.

Sepanjang perjalanan dilihat total pemakaian bahan bakar, efek terhadap pelumas dan tenaga, serta kadar emisi. Tapi saat sampai di Denpasar Senin lalu, baru kadar emisi dan penggunaan bahan bakar yang diketahui. “Kesimpulan sementara, secara teknis minyak jatropha sudah menyamai atau malah lebih baik dari solar,” ujar Prabowo.

Ekspedisi menempuh total 3200 km yang terbagi jad dua etape. Etape I Atambua-Sanur, sekitar 1800 km. Etape II Sanur-Bandung, sekitar 1400 km. Pada perhitungan di akhir etape I, penggunaan bahan bakar 100 persen minyak jarak lebih irit yaitu 1 liter untuk 9,4 km. Campuran 50 persen jarak 50 persen solar 1 liter untuk 8,7 km. Sedangkan 100 persen solar menghabiskan 1 liter untuk 8,6 km.

Uji emisi dilakukan saat di Denpasar. Menurut Muhammad Azhari, Manajer After Sale Service Mitsubishi yang menguji, hasil uji emisi semua mobil memenuhi standar emisi DKI Jakarta. Standar emisi dilihat dari kepekatan gas buang (opasitas). Pada 100 persen minyak jarak rata-rata 21,8 persen. Pada 50:50 hasilnya 24,3 persen. Sedangkan pada 100 persen solar hasilnya 19,9 persen. Standar emisi DKI di bawah 40 persen.

Menurut Azhari, wajar jika uji emisi pada 100 persen minyak jarak lebih tinggi. “Sebab mesin yang digunakan menggunakan mesin yang dibuat untuk solar, bukan untuk jarak,” katanya. Karena itu, menurutnya, kalau nanti hasil tes diterapkan secara massal, harus ada studi khusus untuk pabrikan.

Namun, menurut Prabowo, harus diingat bahwa minyak jarak menghasilkan emisi dari tumbuhan tidak seperti solar yang menghasilkan emisi dari minyak bumi lalu dibuang ke atmosfir. Akibatnya karbondioksida pun makin lama makin banyak. “Tapi kalau dari minyak jatropha tidak akan memperbanyak karbondioksida itu,” katanya.

Gas emisi dari penggunaan 100 persen minyak jarak pun tak terlalu berbau. Beda dengan solar yang berbau khas. Saat di Denpasar, beberapa orang malah menaruh tangan pada knalpot untuk mencium bau emisi. “Kayak minyak goreng. Wangi,” kata salah satu turis asing yang ikut mencium. Saat di Denpasar memang dilakukan eksebisi mobil uji coba itu.
Tes lain yang dilakukan adalah uji akselerasi. Uji coba dilakukan Senin tengah malam di Denpasar. Namun hasilnya belum dianalisa. [Tantyo dan Prabowo menjanjikan akan disampaikan saat jumpa pers di Bandung Rabu sore ini]. Akan diukur juga dengan pengukur tenaga (dynamometer) untuk membandingkan apakah terjadi pengurangan atau malah penambahan tenaga.

“Sejauh ini kami masih puas. Tidak ditemukan masalah pada mesin,” kata Prabowo.

Meski hasilnya memuaskan, menurut Tantyo, uji coba ini masih bersifat empiris, bukan sesuatu yang ilmiah. Sebab banyak faktor luar yang juga berpengaruh pada penggunaan bahan bakar tersebut. Misalnya suhu dan gaya menyetir tiap orang.

Saat di sekitar Gunung Kelimutu misalnya suhu luar mencapai sekitar 13o C. Ternyata suhu dinding berpengaruh pada kualitas minyak jarak. Makin dingin suhu luar, minyak jaraknya makin kental. Akibatnya perpindahan panasnya pun tidak lancar. “Pengalaman ini jadi PR untuk memperbaiki kualitas minyak jarak,” kata Tantyo.

Faktor lain yang berpengaruh adalah driving style. Pada saat perjalanan antara Larantuka-Labuan Bajo di NTT terjadi perubahan menyolok. Tiba-tiba konsumsi minyak jarak lebih boros dibanding campuran dan 100 persen solar. Saat itu 1 liter 100 persen minyak jarak hanya untuk 7,4 km. Sedangkan campuran 1 liter untuk 9,06 km dan 1 lieter 100 persen solar untuk 9,07 km. Setelah dicek, ternyata campuran dan solar lebih irit karena sopirnya merokok lalu mematikan AC.

“Memang akan banyak variabel mempengaruhi penelitian sambil berjalan seperti ini. Tapi ini jadi hal menarik,” kata Tantyo.

1 Comment
  • Anonymous
    August 16, 2006

    keep on good work man, its woth for me to spent my spare time reading your blog. dariawan@ifc.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *