Emmerich Setelah 70 Tahun Kehancuran

0 , , , , Permalink 0

Pada masa Perang Dunia II, Emmerich am Rein luluh lantak karena pengeboman. Kini, kota di pinggiran Jerman itu tetap menawan.

Menghabiskan sisa satu hari sebelum meninggalkan Belanda, aku memutuskan berkunjung ke Emmerich am Rein, kota kecil dekat perbatasan Belanda dan Jerman. Aku memilih kota di distrik Cleves, Provinsi Dusseldorf ini dengan pertimbangan dekatnya lokasi, mepetnya waktu, murahnya biaya.

Kota ini dekat dengan perbatasan Belanda. Menurut Google Maps sih di sisi timur Belanda atau di sisi barat Jerman. Dari Bussum, tempatku menginap selama di Belanda, aku naik kereta ke Utrecht. Dari Utrecht baru berganti kereta lebih lama, sekitar 1,5 jam ke Nijmegen. Tiket ini seharga 23 euro bolak-balik Utrecht – Nijmegen.

Nijmegen salah satu kota tertua di Belanda. Dia dibangun sejak abad pertama masehi oleh Romawi. Dari kota ini aku naik bis jurusan Emmerich. Aku cukup menggunakan sisa tiket bis kota seharga 7 euro.

Sopir dari Jerman yang tak bisa berbahasa Inggris memintaku bayar 2,5 euro. Karena dia tak bisa bahasa Inggris, aku tak bisa menggali lebih banyak untuk apa uang ini. Sepertinya sih semacam biaya nyebrang negara. Aku membayar nilai yang sama, dan pakai karcis sisa juga, ketika balik dari Jerman ke Belanda.

Karena itu, total biaya ke Jerman ini tak lebih dari 30 euro. Murah meriah..

Siang itu, sekitar pukul 11, Emmerich mendung. Jembatan Emmerich sepanjang 500 meter melewati sungai Rhein menyambut tiap orang yang datang dari sisi barat kota ini. Jembatan inilah salah satu pesona kota seluas 80 km persegi ini. Karena itu, ketika sampai di kota ini, aku langsung menuju kawasan sungai Rhein, tempat di mana jembatan berada.

Keluar stasiun Bahnof, Emmerich, aku langsung ke kiri menyusuri trotoar di bawah rindang pepohonan. Aku mau menuju kawasan sungai itu. Ternyata salah. Aku makin menjauh dari tujuan sebenarnya. Aku kesasar.

Inilah salah satu masalah di terminal Bahnof, Emmerich. Tidak ada papan informasi atau peta di mana pusat kotanya. Menggunakan feeling saja, aku akhirnya sampai juga di pusat kota, menyusuri pertokoan, melewati satu gereja tua, lalu sampai di tepi sungai Rhein.

Di tepi sungai ini, siang itu kota mulai terlihat ramai. Kalau di tempat-tempat lain termasuk sepi, hanya bertemu puluhan orang, maka sepanjang tepi sungai ini ada ratusan orang. Jauh lebih sepi dibanding kota-kota besar seperti Amsterdam atau Paris.

Aku turun ke tepi sungai dari jalan tempat kafe dan restoran berjejer menghadap salah satu sungai terpanjang di Eropa tersebut. Di tepi sungai ada trotoar di antara tembok dan batu-batu sepanjang sungai seperti pengaman ombak di Sanur atau Serangan itu. Trotoar nyaman ini panjangnya sejajar dengan arah sungai.

Sepasang remaja duduk di salah satu bangku di trotoar ini. Sepanjang jalan aku bertemua dua atau tiga pasangan lain, tua ataupun muda, berjalan menikmati sungai dan udara Emmerich siang itu. Di sisi kiri sungai berwarna keruh coklat tua dengan kapal sepanjang sekitar 50 meter memuat pasir atau mobil lalu lalang. Di kanan ada kafe dan restoran.

Di ujung utara trotoar sepanjang sekitar 1 km ini aku berhenti. Jembatan Emmerich berjarak sekitar 200 meter di depan sana. Aku tidak bisa mendekatinya persis karena harus melewati pabrik, dari baunya sih sepertinya pabrik bahan kimia. Jadi aku naik lagi.

Ada gereja tua di sini. Namanya St Martini. Menurut keterangan di sana, gereja Protestan ini dibangun pada tahun 1040. Berarti umurnya 970 tahun. Meski tua, gereja ini tetap menggoda penampilannya. Ada menara setinggi sekitar 30 meter.

Bukan hanya penampilan luar, jeroan gereja ini ternyata jauh lebih mempesona. Ada sekitar 20 turis lain, rata-rata sudah renta, menikmati diorama gereja bersamaku. Interior gereja, terutama kaca patri warna-warni sangat menarik untuk dinikmati. Dengan lampu temaram, dinding kuning keemasan, dan tinggi menjulang, suasana gereja ini terlihat megah namun bersahaja.

Lilin-lilin di depan altar menambah suasana syahdu. Beberapa pengunjung berdoa di sini.

Keluar gereja St Martini, setelah sekitar 30 menit di dalamnya, aku masuk Museum Rhein. Lokasinya persis di depan gereja. Seperti halnya masuk gereja, masuk museum ini juga tak dipungut biaya. Kebetulan hari itu memang sedang ada program gratis masuk museum. Biasanya sih bayar, kalau tidak salah, 2,5 euro.

Museum Rhein menyajikan berbagai cerita tentang sejarah kota Emmerich, terutama sebagai kota di dekat sungai. Sebagian besar koleksi museum ini adalah tentang pelayaran seperti perahu, pelabuhan, dan peralatan maritim lainnya mulai pada tahun 1900an hingga saat ini. Di bagian lain museum setinggi empat lantai ini ada koleksi sejarah kota juga.

Salah satu bagian menarik dari museum ini adalah video tentang sejarah Emmerich. Video ini memperlihatkan sejarah kota ini sejak zaman Perang Dunia II. Sayang, video ini berbahasa Jerman. Seperti halnya sopir yang kutemui di bis, petugas di museum ini juga tak bisa bahasa Inggris.

Dari beberapa gambar dan sedikit teks yang menyertainya, pengunjung bisa melihat sejarah kota ini terutama pada tahun 1940an. Pada masa itu kota ini pernah jadi bagian dari Nazi, ikut dalam perang dunia, juga menjadi korbannya. Gambar bergerak berwarna hitam putih kusam itu memperlihatkan juga hampir semua kota hancur akibat dibom tentara Sekutu.

Dari Wikipedia, aku kemudian tahu. Pada tanggal 7 Oktober 1944, hampir seluruh kota ini (91 persen) hancur akibat bom. Di gambar itu memang terlihat bangunan hancur, mayat-mayat bergelimpangan, orang menangis.

Kota itu pernah hancur akibat perang, sekitar 70 tahun lalu. Itu usia yang sama ketika negeri ini juga baru selesai perang. Tapi, kota itu kini terlihat sangat menawan..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *