Efo Menjangkau Hingga Pelosok Desa

1 No tags Permalink 0

-tulisan lepas setelah cabut daru GATRA. aku sekarang sering nulis profile. tulisan yg dimuat di Media Indonesia, lupa tanggalnya. tapi dimuatnya dengan ngedit judul dan nama penulis pake nama istri-

Efo Menjangkau Hingga Pelosok Desa

Hingga November ini, Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), menangani 23 anak yatim piatu di daerah Pejarakan, Buleleng, Bali Utara. Orang tua anak-anak yang rata-rata balita dan SD itu meninggal karena infeksi oportunistik akibat HIV/AIDS. Dua di antara mereka positif human immunodeficiancy virus (HIV), virus penyebab sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, acquired immune deficiancy syndrome (AIDS). Ironisnya, mereka yang positif HIV di daerah tersebut hampir semuanya tinggal di desa terpencil.

Fakta itu membuat Made Efo Suarmiartha prihatin. “Terbukti bahwa epidemi ini tidak bisa dibatasi status sosial,” kata Direktur Pelaksana YCUI. Menurut Efo, panggilan akrabnya, ketika ditemukan pertama kali di Indonesia pada 1987, banyak orang melihat HIV/AIDS hanya persoalan kelompok tertentu. Waktu itu Tuti Parwati, dokter spesialis penyakit dalam di Denpasar menemukan HIV pada seorang turis Belanda yang orientasi seksualnya homosek.

Karena itu HIV/AIDS, saat itu dianggap hanya persoalan turis, orang kota, dan kelompok homoseks. Nyatanya, epidemi ini telah menerobos batas sosial, geografis, dan orientasi seksual. Desa yang selama ini seolah-olah tak akan tersentuh masalah ini juga terdampak. Maka, sejak Agustus lalu, YCUI membentuk Kader Desa Peduli AIDS (KDPA). “Agar masalah ini juga melibatkan perangkat desa,” ujar Efo.

Tujuan utama KDPA menjadikan masalah HIV/AIDS juga sebagai bagian dari persoalan orang desa. Mereka yang terlibat adalah perangkat desa. Namun tujuan paling penting untuk menghapus stigma bahwa masalah HIV/AIDS hanya kelompok orang “berdosa” serta mitos bahwa orang desa tidak akan tersentuh masalah ini. Sebab, hasil pergulatan Efo sekitar 15 tahun menunjukkan bahwa orang desa jga rentan terdampak HIV/AIDS.

Masalah HIV/AIDS bagi Efo memang bukan hal baru. Sejak masih semester IV Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali Efo sudah akrab dengan persoalan infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS. Ketika itu, pria kelahiran Singaraja, 9 November 1963 ini kali jadi asisten peneliti kesehatan. Objek penelitiannya tentang gay dan waria. Dari situ ketertarikannya pada masalah IMS terbentuk.

Penelitian etnografi, menariknya karena melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Peneliti pun tak hanya sibuk di ruangan. “Kami harus ke lapangan untuk mendapat hasil paling valid,” katanya. Alasan ini pula yang membuatnya menjadikan masalah hubungan pola hidup menetap dengan kesehatan di Alor sebagai bahan skripsi.

Lulus pada 1989, bapak tiga anak ini memutuskan mengabdi pada persoalan HIV/AIDS. Dia bergabung kelompok penelitian AIDS di almamaternya. Dia pun jadi peneliti utama masalah HIV/AIDS di kalangan sopir. Tiap hari dia bergaul dan menggali perilaku seksual mereka. Dari situ Efo tahu bahwa perilaku mereka sangat berisiko. Namun karena rata-rata orang desa dan kurang pendidikan, para sopir itu belum sadar perilaku mereka berisiko menularkan IMS, termasuk HIV/AIDS, pada istri. “Kami kemudian tak hanya meneliti tapi juga memberikan penyuluhan, pendampingan, dan informasi yang benar tetang persoalan tersebut,” ujarnya.

Berdasarkan pengalaman tersebut, Efo dan teman-temannya mendirikan YCUI pada 4 Februari 1992. Yayasan ini bertujuan menanggulangai masalah HIV/AIDS. Mereka sepakat penelitian saja tidak bisa menyelesaikan persoalan. Karena itu perlu “kendaraan” yang lebih bisa terlibat dalam penanggulangan.

Mereka menerapkan penjangkauan (outreach) dan melibatkan kelompok berisiko tak hanya sebagai dampingan tapi sekaligus petugas lapangan (PL). Maka, hingga saat ini, PL YCUI pun hampir semuanya berasal dari latar belakang sama dengan kelompok berisiko yang ditangani. Misalnya untuk kelompok gigolo, PL-nya dari mereka yang akrab dengan dunia gigolo, kelompok sopir PL-nya bekas sopir, dan seterusnya. “Kami hanya memfasilitasi,” ungkap Efo.

Strategi snowballing ini memudahkan penjangkauan. Dari penjangkauan di satu lokasi tertentu, misalnya tempat prostitusi, mereka lalu tahu bahwa pelaku perilaku berisiko ini biasa berkelompok. Lebih mengejutkan, ternyata sebagian besar dari desa. “Setelah melihat data kasus, ternyata kasus IMS paling banyak terjadi dari desa,” ujarnya. Hal ini, menurutnya, karena orang-orang desa punya mobilitas tinggi. Pekerjaan sebagai tukang dan sopir membuat mereka sering berpindah.

Mobilitas ini ada hubungannya dengan kondisi desa mereka. Makin kering dan terpencil, makin banyak penduduk desa itu yang merantau dan memiliki perilaku berisiko tinggi. Menyadari hal ini, YCUI melakukan pemetaan ulang. Jangkauan YCUI pun lebih banyak di daerah. Semula mereka lebih fokus di Kuta, Sanur, dan Denpasar. Nyatanya, masalah juga terjadi di Ubud, Karangasem, Candi Dasa, hingga Lovina. Maka wilayah jangkauan mereka pun ada di daerah terpencil seperti kabupaten Badung, Karangasem, Jembrana, dan Buleleng.

Penjangkauan ke desa ini juga dilakukan karena biasanya kelompok berisiko tinggi ini kembali ke desa setelah sakit. Masalahnya, kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS membuat orang-orang desa ini tak sadar mereka positif HIV, bahkan sudah pada fase AIDS. Mereka menghubungkan sakit mereka dengan persoalan non-medis. “Kalau sakit tidak sembuh-sembuh, mereka berpikir hal itu karena guna-guna atau semacamnya. Apalagi di Bali masih kuat anggapan seperti itu,” kata Efo.

Tanpa mereka sadari, mereka yang sudah positif HIV atau IMS lain ini menularkan ke istri. Dari istri menular ke anak. Dengan cepat, HIV menular ke orang-orang yang tak pernah melakukan perilaku berisiko tinggi. Perempuan dan anak pun jadi korban. “Lalu apa kita hanya akan diam dan menyalahkan mereka yang tak bersalah ini?” tanya Efo.

Efo tidak hanya diam apalagi menyalahkan. Dia memilih memberi dukungan pada anak-anak ini. “Karena menyalahkan saja tidak bisa menyelesaikan persoalan,” tegas suami Utami Rahayu ini. Dia dan teman-temannya memberi layanan nutrisi dan beasiswa pada anak-anak korban HIV/AIDS tersebut. YCUI, melalui kelompok dampingan Suryakanta juga kini membuat semacam kelompok bermain untuk anak-anak ODHA tersebut. Kini YCUI tak sendiri mengurusi anak-anak tersebut. Efo dan teman-temannya mendapat dukungan dari kelompok swasta. Misalnya dari Bali Care Community (BCC), Standard Chartered Bank, serta beberapa hotel di Bali.

Efo, yang mendapat fellowship dari Ashoka Indonesia atas dedikasinya pada masalah HIV/AIDS ini pun menilai masalah HIV/AIDS sudah lebih baik dari sejak pertama kali ditemukan. Misalnya dari temuan kasus. “Kalau dulu orang tidak percaya HIV/AIDS juga ada di sekeliling mereka, namun sekarang banyak pihak sadar bahwa masalah ini dekat dengan mereka,” kata Konsultan Behaviour Change Communiacation Aksi Stop AIDS (ASA) Family Health Indonesia ini.

Makin banyak kasus ditemukan, menurut Efo, tidak menunjukkan bahwa masalah ini tidak bisa ditangani. “Justru itu menunjukkan keberhasilan. Sebab, HIV/AIDS memang seperti gunung es. Fakta sebenarnya masih banyak tersembunyi. Makin banyak diketahui yang positif makin memudahkan penanganan,” jelasnya.

Perhatian pemerintah Bali pun makin berpihak. Misalnya dengan adanya peraturan daerah tentang penanggulangan HIV/AIDS. “Artinya pemerintah sudah melihat masalah ini sebagai tanggung jawab pemerintah dan punya kemauan untuk menanggulangi,” ujar Efo. Layanan kesehatan pada orang dengan HIV/AIDS pun makin mudah. Di sisi lain, lembaga penanggulangan HIV/AIDS pun makin banyak. Ini menunjukkan makin banyak pihak yang peduli dan terlibat. “Kalau dulu hanya ada YCUI dan YKP (Yayasan Kerti Praja, red) yang mengurusi masalah ini,” katanya.

Saat ini di Bali memang banyak lembaga penanggulangan HIV/AIDS. Misalnya Bali+ yang memberi dukungan pada Odha, Yayasan Hatihati pada kel
ompok pengguna narkoba dengan jarum suntik (penasun), dan lainnya. Dukungan juga diberikan oleh sekitar enam kelompok dukungan sebaya (KDS) di Bali pada kelompok khusus. Misalnya Tunjung Putih untuk perempuan, Addict+ untuk penasun, dan Warcan+ untuk waria.

Di antara sekian lembaga penanggulangan itulah, Efo dan teman-temannya menyelusup ke desa-desa dan mengurusi anak-anak. Mereka mengurusi kelompok yang selama ini jarang disentuh. [***]

***

Testimoni
Memandang HIV/AIDS dengan Tajam

Sebagai salah satu pionir penanggulangan HIV/AIDS di Bali, Made Efo Suarmiartha punya pandangan tajam dalam persoalan ini. “Dia berani memilih hal sulit yang kurang diperhatikan banyak orang,” kata Mercya Soesanto, media relation officer Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali. Pilihan tersebut, lanjut Mercya, terlihat dari program penanggulangan yang sebagian besar dilakukan di pelosok desa. “Kalau orang lain kan lebih memilih yang lebih gampang, tapi dia tidak,” tambahnya.

Dalam penilaian ibu satu anak tersebut, Efo juga konsisten dengan ide yang muncul di kepalanya. “Kalau dia sudah punya ide, maka ide itu harus diwujudkan meski orang lain menganggap tidak mungkin bisa,” ujar Mercya. Contohnya soal genjek HIV/AIDS. Efo yang memberikan ide melibatkan grup musik akapela ala Bali itu dalam dalam kampanye HIV/AIDS. Semula seperti tidak mungkin. Ternyata kini sekaa (kelompok) genjek sudah terbentuk hampir di tiap daerah dampingan YCUI.

Dari Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) yang dipimpin Efo pula, Mercya mengaku jadi lebih tahu persoalan HIV/AIDS pada anak-anak di Kecamatan Grokgak, Buleleng, Bali Utara. Dari situ, Mercya dan beberapa temannya mendirikan Bali Community Care (BCC), komunitas funding development. Saat ini BCC fokus pada anak-anak korban HIV/AIDS tersebut. Bantuan yang diberikan untuk masalah kesehatan dan pendidikan.

Di bidang pendidikan misalnya dengan beasiswa dan peralatan sekolah. Sedangkan untuk kesehatan berupa nutrisi dan memudahkan layanan kesehatan. Bantuan itu disalurkan pada anak-anak korban HIV/AIDS melalui YCUI. “Kami (BCC dan YCUI) saat ini juga sedang mengusahakan agar anak-anak itu bisa mendapat asuransi kesehatan,” lanjutnya. Ide itu, menurut Mercya, tak bisa dilepaskan dari peran Efo dan YCUI.

Bantuan YCUI dan BCC itu diberikan sejak sekitar 1,5 tahun lalu. Awalnya “hanya” 14 anak korban HIV/AIDS. Kini sudah ada 23 anak yang mereka bantu. Bahkan, setahu Mercya, di kelompok bermain yang didirikan YCUI di desa Goris, Buleleng, saat ini ada 50an anak. “Itu kan jumlah yang tidak sedikit,” katanya.

Pandangan Efo yang tajam pada persoalan HIV/AIDS itu pula yang membuat mereka kini sedang memikirkan upaya pendampingan secara psikologis pada anak-anak itu. “Gila kan? Sia sampai mikir persoalan character building anak-anak tersebut. Padahal selama ini penanggulangan HIV/AIDS masih fokus pada pendampingan Odha (orang dengan HIV/AIDS),” kata Mercya.

Namun, Mercya menilai, kuatnya kemauan dalam penanggulangan HIV/AIDS itu kadang membuat Efo terlihat keras kepala. “Tapi sejauh ini sih keras kepalanya Efo berhasil ya,” kata Mercya. [***]

1 Comment
  • rahayu
    April 30, 2008

    pemerintah khususnya dinas kesehatan cenderung tidak melakukan tugasnya dengan baik. masih banyak orang dinas kesehatan yang jijik saat memeriksa ODHA. dan saya melihat teman-teman yang aktif di HIV-AIDS hanya merupakan project semata. pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi pada ODHA ini kalau NGO asing sudah tidak memberikan bantuan lagi……

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *