Desa Merana untuk Mempercantik Kota

1 , , Permalink 0

Ketika kekayaannya menghidupi kota, desa justru merana.

Desa memang hanya mendapat sisa-sisa dari rempah yang diisap kota. Begitulah perjalanan ke Gunung Batur dan sekitarnya pertengahan April lalu mengingatkanku.

Perjalanan ini merupakan bagian dari Melali Bersama Bale Bengong untuk membuat laporan-laporan ala warga.

Ada sekitar 25 orang yang ikut perjalanan sehari ini. Latar belakangnya beragam: mahasiswa, desainer, wiraswasta, pekerja teknologi informasi (TI), jurnalis, dan lain-lain.

Lokasi melali kami adalah Danau Batur dan sekitarnya di Kecamatan Kintamani, Bangli. Artinya, kami turun dari Penelokan, titik di mana wisatawan biasa menikmati danau dan gunung Batur.

Jalur yang biasa digunakan untuk turun adalah lewat Penelokan ini tembus ke Kedisan. Lalu, jalan terus berliku-liku lewat sisi barat danau dan di sisi timur gunung. Ini lokasi mulus dan biasa dipakai orang.

Kali ini kami menggunakan jalur berbeda. Kadek Didi Suprapta, warga Desa Songan, di kaki Gunung Batur yang juga wiraswasta usaha travel, memandu kami menuruni jalur lewat sisi barat Gunung Batur. Kami lewat Culali dan Banjar Yeh Mampeh.

Jalur ini agak sepi. Tapi, kami tetap bertemu dengan beberapa truk pengangkut pasir. Dan, itulah ironinya.

Gunung Batur yang hingga saat ini masih aktif dan melahirkan jutaan kubik pasir, menjadi salah satu sumber utama pasir di Bali. Dari sini, selain juga galian C di Gunaksa, Klungkung, pasir-pasir dikeruk sebagai bahan baku pembangunan rumah-rumah di seluruh Bali. Tak hanya rumah tapi juga fasilitas mewah lain di Bali, hotel, restoran, dan seterusnya.

Namun, ketika pasir dari Batur menjadi bahan pembangunan rumah, hotel, dan bangunan mewah dan megah lainnya, rumah warga di sekitar tempat penambangan pasir ini justru jauh dari kata mewah. Bagiku malah mengenaskan.

Lihatlah dari sisi jalan raya. Ketika kami turun setelah jalan utama antara Bangli-Singaraja, jalan memang relatif mulus meski berkelok-kelok naik turun. Tapi, setelah sekitar 10 menit dari titik ini, jalanan mulai hancur. Benar-benar hancur!

Tidak ada itu jalan beraspal. Adanya malah jalan tanah dengan tekstur bergelombang saking rusaknya. Kami seperti di atas gelombang lautan ketika melewatinya.

Padahal, jalan inilah satu-satunya akses bagi warga desa untuk ke kota. Kami melewati jalan rusak ini sampai sekitar 1 jam. Mobil berjalan tak lebih dari 20 km per jam.

Begitu pula rumah-rumah warga desa di sini. Ketika tiba di Banjar Yeh Mampeh, salah satu pusat penambangan pasir, deretan rumah di sana amat sederhana. Sekilas, sih, terlihat rumahnya tak lebih dari 5×4 meter. Dinding rumahnya tanpa polesan semen atau semacamnya layaknya rumah-rumah di kita.

Dengan agak lebay, mungkin inilah wujud peribahasa ayam sekarat di lumbung beras. Ketika desanya menyediakan ribuan atau malah jutaan kubik pasir ke kota, warga desa ini justru tak punya rumah mewah seperti yang dibangun dengan pasir dari desanya.

Lalu, nun jauh di sana di Jakarta, Ketua DPR dan sebagian besar anggotanya justru ngotot membangun lagi tempat kerja lebih mewah meski gedung yang dimilikinya sudah mewah tiada tara. Lalu, anggota DPR ini mewakili siapa?

1 Comment
  • baliwae
    May 5, 2011

    izin share ya gan. ini hanyalah salah satu saja dari banyak kondisi serupa di beragam tempat di tanah air. mudah mudahan wakil kita di dpr segera sadar. kita rakyat hanya bisa bersabar dan berdoa. sabar yang benar benar sabar tidak ada putus nya. sabar yang benar benar konsisten. dengan kesabaran mudah mudahan segala kesulitan akan menjadi keuletan yang akan membawa kepada perubahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *